Minggu, 11 Mei 2003

BALADA CINTA LENA

Aku mencintaimu
Di mana kita bertemu aku lupa
Kapan kita bertemu aku lupa
Mengapa aku mencintaimu
Aku tak pasti
Seingatku
Sejak kau bela dengan berani pelacur itu
Kamu katakan pada mereka
“Siapa yang tidak punya dosa.
Hendaklah ia yang pertama
Melemparkan batu-batu ini pada perempuan itu”.
Aih, sungguh!
Aku terangsang dan rindu
Kamu pemuda istimewa
Tak seperti pemuda-pemuda lain
Yang tunduk-taat pada adat dan faham kaum tua
***
Kamu tahu
Pelacur itu kawanku
Sungguh malang dia
Tertangkap dan diarak massa
Ketika kau membelanya
Aku yang senasib berdiri di kejauhan
Takut
Mereka telah memusuhi kami lama
Mereka sebut kami sampah masyarakat
Aku cuma ngerti
“Sebuah istana toh butuh selokan yang kotor?”
mereka tidak peduli
cuma di saat gelisah
mereka datang padaku
menghiba-hiba
menyetubuhiku
memaksakan tangannya meremas dadaku
memaksakan mulutnya melumat mulutku
aku mengeluh sakit
mereka tak peduli
“sudah kubeli tubuhmu dengan uangku”
aku menangis mereka tertawa
dan teruslah mereka berpura-pura suci
di depan isterinya
di depan anak-anaknya
di depan mertuanya
di depan tuhannya
ya, ampun
semakin mereka berlagak suci tujuh turunan
hujatan kepadaku pun berlipat-lipat
mereka sebut aku
“perempuan dengan tujuh roh jahat”
tujuh roh jahat?
Apakah itu?
Memang:
ibuku seorang pelacur
aku dibesarkan di pelacuran
aku dilahirkan tanpa bapak. Mereka sebut aku anak haram
aku tidak sekolah dan tidak beragama
aku tidak menikah
aku berteman dengan pelacur dan kaum homoseksual
aku sendiri pelacur
***
adakah yang mirip di antara kita?
Aku dengar
Kamu tak berbapak
Ibumu mengandung kamu sebelum menikah
Kamu juga liar
Tidur di jalan dan di taman-taman
Belum menikah
Sungguh gila
Adat memaksa lelaki di atas 14 tahun harus menikah
perempuan setelah haid harus juga menikah
Kamu?
tiga puluhan
Apakah kamu gay?
***
Ku buang dulu pikiran itu jauh-jauh
Aku belum mengenalmu
Barangkali engkaulah juruslamatku
Yang akan mengangkatku dari lumpur zinah
Atau engkaulah kekasihku
pelabuhanku
sekarang
biarlah kusimpan
di hati
***
memandangmu seperti memandang kerajaan surga
yang selalu kamu katakan
kepadamu harapanku melambung
ingin kunyanyikan lagu untukmu
dan tak ingin ku kenal yang lain
sungguh aku ingin kamu jadi pahlawanku
aku ingin suatu saat
kamu berkata kepadaku:
“aku mencintaimu, Lena!”
bukan dengan kelembutan
tapi dengan teriakan
liar
hingga orang-orang mendengar
tak hanya di sini
tapi seluruh dunia
biarkan para perempuan mati cemburu karena kita
dan mereka yang masih bernafas mengakuinya
sebab apa katamu?
“siapa bertelinga hendaklah mendengar?”
***
aku suka kata-kata itu
akan kutunggu kata-katamu kepadaku
sebab tak mungkin aku yang pertama
walau aku bisa dan tidak menolak
aku ingin kamu jadi lelaki
dan aku perempuan
***
aku ingin bertemu denganmu
tapi gimana caranya
apa kamu tahu caranya?
***
Sekali-kali kamu datang minum anggur
di tempat kami mangkal
tapi aku tak berani ambil kesempatan
aku malu menemuimu
padahal mata kita sempat bertemu
Aku takut
anak-anak buahmu selalu menjagamu dengan angkuh
padahal aku tahu
mata mereka adalah mata anak-anak nelayan yang penakut
apakah kelak mereka aka seberani engkau?
Bangsat!
Siapa mereka?
Simon, andre, anak-anak zebedeus
Yohan, yakobus?
***
Aduh, tuhan
Gimana caranya!
Sekali lagi aku melihat kamu nongkrong minum anggur
Aku cuma bengong melihat surga di depanku
Sampai tersadar ketika kamu berteriak-teriak marah
Pada orang-orang munafik
“kaliyan bilang apa kepadaku?
Peminum dan pelahap? Puih!
Dulu datang seorang nabi
tidak makan dan minum anggur
Makanannya cuma belalang dan madu hutan
Kamu bilang: orang gila
Kini aku datang
Makan dan minum
Di tengah orang-orang berdosa, miskin dan papa
Kamu bilang: aku, pelahap dan peminum
KaliYan memang sampah!
Munafik!
Kami meniup seruling bagimu
Kamu tak menari
Kami nyanyikan lagu duka
Kamu tak menangis
Celakalah kamu
Kamu adalah kuburan yang di luar dicat putih
Tapi di dalamnya adalah tulang-belulang busuk!”
Aku tersentak
Benarkah yang kamu katakan itu?
Mengapa kamu maki orang-orang yang dikenal baik itu?
***
Uh, sungguh aku ingin menemuimu
Tak pernahkah kamu sendiri
Sehingga kita dapat bicara
“kenalkan, namaku Lena!
dan namamu?
Bisakah kita nanti malam bertemu di taman Zaitun?”
Aduh, aku bisa gila
Teman-temanku tertawa ngakak
Aku tak peduli
Karena kamu
Aku memang gila
***
Ku dengar memang
Pada malam
Kamu bersama anak buahmu
sering nongkrong di taman Zaitun
Aku takut menemuimu di sana
Karena malam
Malam di sini sangat jahat
Perempuan baik bisa dibikin jalang
Apalagi buat perempuan jalang
Bisa dibikin apa saja
Tiada yang membela
Masih untung ketemu kamu dan anak buahmu
Kalau tidak?
***
Busyet!
Aku tak bisa tidur
Darahku mengalir ke ubun-ubun
Keringat dingin
Aku bangun membuang kesal
Bulan dan bintang
Kupandang agar jiwaku tenang
kubentangkan perasaanku dalam doa
Satu-satunya yang pernah diajarkan ibuku
“berkatilah kami!”
***
demikianlah kamu kupinta dalam doaku
***
kesempatan itu datang
aku sedang nongkrong di pasar
aku lihat kamu memasuki rumah kawanmu
ia nampak gembira
kali ini takkan kulepaskan
ku beli minyak wangi termahal dan terbaik
aku nyelonong masuk
tak peduli mereka sedang apa
saat itu hanya kamu di otakku
aku hanya takut
kamu akan menganggapku tukang bikin sensasi
dan sensasi adalah bagian dari hidupku yang terbesar
aku tidak peduli
kutuangkan minyak wangi di kakimu
kuusap dengan tanganku
kubersihkan dengan rambut hitam panjangku
kuciumi kakimu yang putih
aku menangis
kamu dengan tenang
dalam jiwa yang membela
memandangi orang-orang yang keheranan
“Semahal itu cuma dihabiskan begitu saja?”
dengan cara itulah kamu mengenalku
dan aku mulai dapat mengenalmu
lebih dekat
***
aku tahu kamu tidak bekerja
tapi aku tahu apa yang kamu kerjakan
kamu tidak pernah khawatir
dengan keuangan
selalu kamu bilang kepadaku
dan tak hanya kepadaku
“Carpe diem, petiklah hari ini,
sebab esok punya persoalan sendiri-sendiri!”
bagaimana kamu bisa makan dan berganti baju
kamu berkata
“burung-burung di udara tidak menanam, tapi makan
dan aku bersumpah kepadamu pakaian terbaik Salomo
masih kalah baik dengan bunga bakung”
***
Akupun mulai sering berjalan denganmu
dan kawan-kawanmu
seperti yang kamu bilang kepadaku
bukan anak buah seperti yang sering aku katakan
dan kamu mengajariku doa bila aku gelisah:
“Bapak kami yang ada di surga
dikuduskanlah namamu
datanglah kerajaanmu
jadilah kehendakmu
di atas bumi seperti di surga
berilah kami pada hari ini makanan kami secukupnya
dan ampunilah kami akan kesalahan kami
seperti kami juga mengampuni
orang-orang yang bersalah kepada kami…”
***
“Mengapa kita harus menyebut Bapak?”
aku protes
kamu bilang: bapak kita ini sungguh baik
tidak membedakan yang baik dan jahat
seperti hujan dan matahari
diberikan semuanya, air dan panas teriknya
kepada manusia
kepada anak manusia
“Bohong!”
“O ya?”
kamu hampir tak percaya aku bisa berkata seperti itu
“kupikir karena kamu tidak punya bapak.
Lalu kamu dambakan bapak yang sungguh baik”
Kamu cuma tertawa, memandang jauh
“mengapa tidak kamu sebut ibu?”
kamu terdiam
hanya berbisik
“Ibuku juga sungguh baik”.
***
Kamu gelisah menatap bintang-bintang malam
Angin malam membuat malam tambah dingin
Tapi itu tak membuatmu dingin
Kamu dekatkan wajahmu kepadaku dan berkata lembut
“ibuku sungguh baik. Ia, seorang ibu yang menerima
di saat-saat kegentingan menimpa dirinya
karena tanpa menikah ia mengandungku
ia berseru: ‘jadilah kehendakmu!’
karena penerimaannya, ia menjadi berani.
Tiada pernah takut!
Sekalipun ditinggalkan lelaki tunangannya
Sekalipun kutukan dan kecaman
akan datang dari keluarga, teman dan tetangga
Ia tidak takut ditinggalkan sendirian
Justru karena itu
lelaki tunangannya tak pernah meninggalkannya.
Ia telah melewati malam dingin dan menakutkan
saat mau melahirkan aku
Ia melewati jalan panas dan berdebu ke Mesir
melewati malam dingin mencekam pada jalan ke Mesir
Ketika raja bengis mengamuk membunuh bayi-bayi
Saat mengandung aku ia menyanyikan lagu terindah
Yang tak ada bandingannya sampai kini
Ketajaman puisinya menembus hatiku
yang aman dalam rahimnya
Sehingga aku bergerak
Jiwaku memuliakan Tuhan
hatiku bergembira
Karena Allah juruslamatku
ia telah memperhatikan kerendahan hambanya
Sesungguhnya mulai dari sekarang
segala keturunan akan menyebut aku berbahagia
yang mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar
Kepadaku
namanya adalah kudus
rakhmatnya turun-temurun atas orang yang takut akan dia
Ia memperlihatkan kuasanya dengan perbuatan tangannya
mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya
menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya
meninggikan orang-orang yang rendah
melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar
menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa…”
***
Dalam terang bulan
kupandangi wajahmu yang gelisah
Ingin aku membelai rambutmu yang ikal sebahu
Aku takut
Sampai sejauh ini
Kamu memanggilku kawan
Seperti pada yang lain
Bahkan kamu bilang:
“Berbahagialah
orang-orang yang mati untuk kawan-kawannya”
Tak inginkah kamu mencintai?
Tak inginkah kamu dicintai?
Tak inginkah kamu disentuh?
Tak inginkah kamu?
***
Oh, syet!
Apa yang kamu pikirkan
Aku ada di depanmu
Tapi matamu memandang ke tempat-tempat yang jauh
Ke tempat-tempat yang tidak mengenal musim
Ke tempat-tempat yang mati
Haruskah aku yang memulai?
Aku bergerak mendekat
Begitu dekat kita
Lena”,
aku was-was
tubuhku bergetar
“bolehkah aku menambahkan nama Maria pada namamu?”
aku terdiam, hanya itu?
Tapi aku mengangguk
Kamu terlalu mencintai ibumu yang bernama Maria itu.
***
Baiklah
Barangkali memang belum saatnya
Tapi aku mengenalmu
Kegelisahanmu
Kita pernah bicara berdua
Di taman
Di malam
begitu dekat
Aku percaya kepadamu
Kamu begitu baik
Bagiku kamu adalah seorang guru
aku berharap ini akan berubah
Aku mencintaimu
kini aku punya kawan
Dari golongan terpelajar
***
Semakin sering aku mengikutimu
Kehidupan pelacuran dan rumah-rumah bordil
mulai tertinggalkan
Sering pula uangku kuberikan kepadamu
Karena aku percaya kepada hidupmu
Orang-orang mulai mengenal
Aku adalah kawan perempuan terdekatmu
Di samping Maria dan Martha?
Sebagian lagi ada yang menganggap kita pacaran
Bila itu ditujukan kepadamu
Kamu berkata:
“tak ada kata yang lebih indah selain kawan”.
Yakinkah kamu?
Bila itu ditujukan kepadaku
Aku menjadi gelisah
Aku tak yakin
Aku ingin kawin
Kawan ya kawin
Begitulah manusia hidup
Tak inginkah kamu kawin?
Menikah, Sayang?
***
Kamu ceritakan padaku tentang perceraian:
orang tidak boleh bercerai
Sebab ada orang yang tidak bisa kawin
karena kelahirannya
Karena sakit
karena hendak memperluas kerajaan surga
Kalau ketidakinginan kawin memang begitu
Kamu sendiri berada dalam golongan yang mana?
***
Apakah benar kamu gay?
Jika benar mengapa kamu kutuki Sodom dan Gomora
dengan seluruh kebencianmu?
Tak ada ampun bahkan harus disiksa, dibakar?
Tentang sikap terhadap kaum homoseksual dan transeksual
kita berbeda
membuat kita sering bertengkar hebat
Aku tak pernah sepakat!
Mereka adalah kawan-kawanku di masa kecil
Di masa kanak-kanak
Di masa remaja
Di masa dewasaku yang mendamba cinta yang tulus
Di tengah-tengah dunia pelacuran
Di tengah-tengah maksiat
Di tengah-tengah malam sampai matahari pecah
Di dalam duka, jeritan, tangis, bahagia, bersemangat, lesu
dan keinginan mati
Di dalam kebencian atas nama masyarakat
Di antara nafsu mereka untuk membunuh, menyiksa, meneror, menculik, memperkosa dan membantai kami
Di antara masyarakat itu adalah kamu
Aku muak kepadamu, kawanku tercinta
Kamu benci mereka
Kamu benci pula aku
Kamu bunuh mereka kamu bunuh aku
Kamu hina mereka kamu menghinaku
Bukankah itu semua yang kamu katakan kepadaku tentang kawan?
Kamu dan Aku
Dukamu sertaku
Marahmu airmataku
Hinamu tangisku
Makimu caciku
Bahagiamu citaku
Datangmu bentengku
Rindumu apiku
Dalam gelap
Di sini
Kini
pun rinduku
kuakui di banyak hal kita bertemu
lebih dari bertemu
karena itu aku mencintaimu
karena itu kurelakan hartaku
karena itu kutinggalkan kerjaku
karena itu sekali lagi karena itu
kutinggalkan kawan-kawanku
mengikutimu kemana kamu pergi
tapi tak pernah kukhianati mereka
kami sehidup semati dalam keyakinan yang sama
aku tahu orang-orang seperti mereka
tidaklah sakit
aku tahu orang-orang seperti mereka
bukanlah orang-orang yang dikutuk dewa yang agung
mereka punya cinta, punya dendam, benci, ingin kawan dan sahabat
mereka bisa menangis, sakit, lapar, terhina dan mati
tak ada yang salah pada sodom dan gomora
kesalahan mereka adalah pesta pora di lautan kemiskinan
kamu salah
aku berharap
kamu akan mengaku dosa kepadaku karena ini
sehingga kita penuh sebagai kawan
maafkan aku, hei, anak tukang kayu
tak adakah nenek moyangmu yang seperti diriku
membeli orang-orang sepertiku?
memang aku, kami harus dibantai
tapi bagaimana kami akan dibantai?
Kami berasal dari ketidakadilan masyarakat
Dengan keadilan masyarakatlah kami akan terbantai
Bukan dengan tangan-tangan kekuasaan yang berlagak suci
Aku, Lena
berterimakasih atas pembelaanmu pada orang-orang seperti kami
Kalau kami mengalah
Memang, bukan karena takut
Orang-orang seperti kami jumlahnya sedikit.
Kamu tampar pipi kiriku kuberikan pula kepadamu pipi kananku
Dengan keyakinan suatu saat bila kuat kubalas tamparanmu
Hingga kamu mencium kakiku, memohon ampun
Aku menyesal dulu pernah mencium kakimu
Inilah pertama kali aku menyesal dalam hidupku
Sering pula kamu masih menghinaku
Karena aku perempuan: tak boleh tampil memimpin
Namun dari semua makianku kepadamu
Tetap lebih banyak pujian dan rasa menicintaimu
Aku benar-benar membenci bila aku sudah berkata: malas
Kalau pun menemuimu hanyalah kemunafikan
***
Di manakah kamu esok malam
Tidur di mana
Apakah kita bisa bertemu di tempat biasa?
***
Selalu tak pasti
Rumahmu saja tak pasti
aku tak boleh tahu?
Begitu rahasiakah hidupmu?
Tak bolehkah aku mampir?
Apa yang kamu takutkan?
Soal ini kamu selalu bilang
“serigala mempunyai liang, burung-burung mempunyai sarang
tapi anak manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepalanya”
begitukah?
***
Katamu:
kita harus selalu bikin komitmen
Jujur dan terbuka
Supaya pasti ada kita di mana
Itulah yang penting
Siapa yang setia dalam perkara kecil
Akan setia dalam perkara besar
***
Aku ingat kepadamu
Seperti dahulu
Menyebut namamu
Bergetar jiwaku
Oh, kerinduanku, Mama!
Tak berbalas
Ke ujung-ujung kucari namamu
Di kota ini kucari sepi
Biar kutemukan wajahmu
Membayang
Dalam gelap
Ada tangis tak terhibur
O, Penyair
Tuliskan sajak rindu kepadanya
Biar kusebut namanya
Di saat ajalku
Kepadamu
Kuberikan
Lagu penuh kenangan
Nyanyikanlah di hatimu
Agar aku tak menjauh
Biarkan cinta berlabuh
Di hati yang rindu
Kita kan mendayung jauh
Ke pulau abadi
Aku ingat cerita-ceritamu
yang sering ku lupa atau tak tahu maknanya
Yang membuatmu marah
Tapi aku suka kalau kamu marah
Itu artinya…
Ya begitulah
Kamu tahu
Kamu pernah marah juga pada kawan-kawanmu
Betapa tololnya mereka
tak mampu mengartikan cerita yang sederhana
Lalu bagaimana dengan cerita-cerita yang lebih sulit?
Aku tertawa saat kamu mengatakan: mereka tolol
kamu menatapku dengan senyumanmu yang khas
Dan kata-katamu yang khas
“dasar kamu juga goblok! Kamu tahu artinya?”
“enggak!”
***
aduh kawanku,
datanglah kamu malam ini
aku ingat ini malam yang baik buat kaum muda
rasanya sepi
aku ingin kamu menghiburku
apakah jadi malam ini hanya mengingat cerita-ceritamu
tentang petani, aku tahu
tentang garam dunia, juga tahu
tentang seorang yang tamak
yang tidak tahu kapan akan mati?
tentang kerajaan surga, aku ikut saja
tentang seorang anak yang hilang
aku agak tidak senang
tentang anak domba yang tersesat, uh betapa baiknya
tentang orang-orang dengan bakat-bakatnya
tentang betapa susahnya mengikuti kamu
bahkan yang pertama bisa menjadi yang terakhir
aku tak begitu paham
bahkan di sini kamu begitu keras
aku sering merinding
tak percaya
kalau itu benar-benar keluar dari mulutmu
sungguh gila
“biarkan orang mati menguburkan orang mati?”
tak kau ijinkan sama sekali
pemuda itu mengubur mayat bapaknya?
“Tinggalkanlah keluargamu, ayah, ibu,
suami atau isterimu dan anak-anakmu?”
Begitu beratkah mengikutimu?
Lalu apa yang kamu berikan
kepada orang-orang yang mengikutimu?
Kamu terdiam sejenak ketika ku tanya
Jawabmu seperti dulu
ketika kamu dicari ibu dan saudara-saudaramu
“yang mengikuti aku
akan memperoleh lebih banyak saudara, tanah dan anak-anak”
karena itu juga kamu sering mengeluh
ternyata begitu sedikit yang mengikuti kamu
“panenan memang banyak tapi pekerja sedikit”
hanya sebentar saja kamu sedih
merasa tidak terjadi apa-apa
lalu kamu bilang
“siapa yang mengetuk pintu, pintu akan dibukakan
siapa mencari, akan menemukan”
di antara semua itu yang paling aku suka adalah puisimu
yang kamu bacakan di atas bukit
semangatnya adalah nyanyian ibumu
ketika kamu dalam kandungan
kata-kata yang menggerakkan
ketika kamu dalam rahim ibumu yang aman
aku sendiri sering bahagia mendengarnya
berbahagialah kamu orang-orang miskin
berbahagialah kamu yang oleh karena aku kamu dianiaya
berbahagialah kamu yang direndahkan sebab kamu akan ditinggikan
berbahagialah kamu yang lapar karena kamu akan dikenyangkan
tentang kawan-kawanmu
kamu tak banyak cerita
hanya simonlah yang sering kamu sebut
orang yang keras, kokoh bak karang di lautan
kamu sebut dia Petrus
katamu: dialah yang akan menggantikanmu
bila kamu pergi atau mati?
Yohanes kudengar murid yang paling kamu sayangi
Ketika mereka bertengkar siapa yang paling berhak dicintai
Kamu marah dan menunjuk anak kecillah yang paling berhak
Kamu juga marah pada mereka yang menentang ajaranmu
Bahkan kamu tak bisa mengampuninya
itulah dosa yang tak terampuni?
pada mereka yang menyesatkan anak-anak kecil
kamu lebih tegas
orang seperti itu hanya layak dilemparkan ke laut
dengan batu kilangan di lehernya?
***
sudah berapa lama aku bersamamu?
Sampai aku sudah lupa pada masa laluku
Tapi belum juga keluar dari mulutmu
Lena, aku mencintaimu!”
masihkah kamu menganggapku kawan
seperti kawan-kawanmu yang lain
tak adakah kepedulianmu dalam soal ini kepadaku
kamu tak mengerti atau pura-pura
apakah memang begitu terus jalan hidupmu
apa katamu?
kamu datang ke dunia
untuk membawa kabar baik bagi orang-orang miskin
penglihatan bagi orang-orang buta
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas
memberitakan pembebasan bagi para tawanan?
***
Tak mengapa
Kamu adalah bagian dari hidupku
***
Pintaku
Jangan ada di otakmu
Aku tidak serius
Aku sudah sangat-sangat serius
berusaha ngerti dan memahami cara berfikir dan hidupmu
tapi tak sanggup aku menjalaninya?
Atau
lupakan semua
Terimakasih atas pertemuan–pertemuan kita
Mungkin kita berbeda
Walau aku tahu banyak kesamaannya
Akan kutunggu
Berapa lama cintaku kepadamu bertahan
Dan berapa lama kamu menjadi malaikat
Ya! kutunggu kejatuhanmu
***
Lama kita tak bertemu
Atau terasa lama?
***
Sampai suatu saat ku dengar kamu ditangkap
Seorang kawanmu mengkhianatimu
kawan-kawanmu yang lain yang kamu banggakan itu
lari pontang-panting
meninggalkanmu
seperti yang dulu pernah kukira
mereka adalah anak-anak nelayan sederhana
dalam arti lain juga penakut
entah bagaimana caranya
mereka akan menjadi berani aku tidak tahu
dan itu suatu kegilaan pasti
***
setelah penangkapanmu
aku semakin tidak tahu
kabar kawan-kawanmu
mereka tak lagi berkumpul
berpencar-pencar dalam persembunyian
menyamar dan pura-pura tidak mengenalmu
aku menangis
takkan kutinggalkan kamu sendiri
kamulah kawanku yang sesungguhnya
lepas dari kelemahan-kelemahanmu
di saat-saat pengejaran seperti ini aku jadi ingat
kata-katamu
“kamu bekerja di tengah-tengah serigala
kamu harus licik seperti ular dan jinak seperti merpati”
***
aku datang ke ibumu
menanyakan kabar semuanya
adakah kawan-kawan masih ngumpul
***
pengadilan kepadamu mulai berjalan
pengadilan agama tidak bisa memutuskan
Herodes tidak mau mengadilimu karena bukan kuasanya
Dilemparkannya kamu kepada Pilatus
Ia juga enggan
memilih cuci tangan
ia terus didesak
akhirnya kalah
Karena diancam akan diadukan ke Kaisar Roma
Oh betapa heran: aku jadi tahu jalur-jalur kekuasaan?!
***
Orang-orang ramai menonton pengadilanmu
Bagaimana kamu menjawab kesalahan-kesalahan
yang ditimpakan kepadamu
Kamu begitu tenang
Seperti tidak ada apa-apa
Padahal kematian siap digantungkan ke lehermu
Kawan-kawanmu tiada yang datang membela
Dimanakah sebelas orang kawan terbaikmu
Simon, Andre, Yohan, Yakob…
Dimanakah lima ribu orang laki-laki yang kamu kasih makan gratis
Dimanakah empat ribu orang laki-laki yang lagi-lagi kamu kasih makan gratis
Dimanakah orang-orang yang mengelu-elukan kamu sebagai raja menuju kota perdamaian
***
Yudas!
Ku dengar setelah tahu
betapa salah perbuatannya
gantung diri
Menyesal
Begitukah caranya
ia harus menebus kesalahannya
Ku pikir kamu sendiri tidak setuju
Tapi pasti betapa benci kawan-kawanmu
Simon: pasti akan memaki-maki tanpa ampun
Tapi kamu tak pernah berkomentar apapun
Kamu menganggap tidak ada
Dan memang
tidak ada itulah hukuman bagi pengkhianat?
Ketiadaan itukah hukumannya?
Yudas Iskariot adalah bagian dari hidupmu yang singkat
Yang pernah kamu anggap kawan?
Sehingga dibenci dan dimakipun tak layak?
***
Akhirnya ini betul-betul menimpamu
Aku tak percaya Pilatus mengijinkanmu dihukum salib
diarak keliling kota menuju bukit tengkorak
Aku berdiri di pinggir
Di antara orang-orang yang ingin melihatmu dihina
Aku ingin menangis
Tapi aku telah berjanji kepadamu
Bahwa aku tak akan menangis di depan orang lain
Kecuali di depanmu
***
Begitulah juga kamu berkata
kepada perempuan-perempuan yang menangis itu
***
Vero sungguh berani
Ia maju mengusap lukamu
Mengapa bukan aku?
Aku cemburu
Betapa kecil nyaliku
***
Sampai di Bukit Tengkorak
aku tetap berdiri di kejauhan
Memandang luka-lukamu
mendengar luh penderitaanmu
Sampai menjelang ajal
Kamu masih meminta
Agar orang-orang yang menghinamu
menyalibkanmu jangan dijadikan dendam
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat
***
Siapakah lalu musuh-musuhmu
kamu juga berkata
Kasihilah musuh-musuhmu
***
Dari ketinggianmu masih keluar dari mulutmu yang bersih
Ibu inilah anakmu dan inilah ibumu
Kamu tidak menyebut namaku
Aku kecewa
Aku sadar
Aku bukanlah kawan istimewamu
Yohaneslah yang istimewa
***
Jam tiga sore
kamu pergi selama-lamanya
Langit mendung, gelap, hujan dan kilat menyambar-nyambar
Seakan marah pada ketidakadilan yang ditimpakan kepadamu
***
Selesai sudah
kamu ditinggikan dengan hina
Kamu orang yang telah menghinakan dirimu
Anak manusia yang telah meludahi masa depan
Demi cita-citamu yang berbahaya
***
Sungguh orang kaya yang baik dan berani
Yusuf Arimatea datang kepadamu
Membelikanmu kain kafan
mengantarmu ke tempat tidur panjangmu
***
Aku pulang
Merasa bersalah
Mengapa aku tak datang
ketika kamu berbeban berat
Terkutuklah hidup dan kelahiranku
Aku menangis sendirian
Tak ada kawan
***
Pagi pagi benar
aku datang kepadamu
Aku menangis
mengapa aku berani datang kepadamu
Ketika tak ada gerakan dalam tubuhmu
Maria ibumu bersamaku
Aku tak tahu
siapa yang akan menolong
menggulingkan batu
Betapa terkejut kami
Pintu sudah dibuka
makam telah kosong
Tak ada tubuhmu yang terluka
Aku takut
Kamu hilang
Orang yang tak kukenal berkata kepadaku
“beritahukanlah kepada kawan-kawan yang setia
ditunggu di tempat yang sudah mereka tahu”
aku pun cepat-cepat datang menemui Simon dan kawan-kawan
yang berkumpul di rumah Bunda
mulailah kini beredar cerita tentang kehilanganmu
ada orang yang bercerita pernah bertemu denganmu
sampai tentara yang mengatakan bahwa mayatmu telah dicuri
***
Pada malam itu
Kami berkumpul
diberitahukanlah kepada kami
Soal penggantian Yudas
Matias yang menggantikannya
dikabarkan juga kepada kami
kamu akan selalu menemani kami
Sepanjang segala abad
Bahkan bila dua orang berkumpul atas namamu
***
Semenjak kamu tiada
Kami sering berkumpul bersama
sehidup semati
Sejiwa
dibuatlah Credo
Yang menandakan
kami sekawan dan sejiwa dalam namamu
Setiap waktu kami harus mengatakan
Entah sembunyi atau terbuka
Di antaranya kami mengakui bahwa kematianmu
Karena kekuasaan yang menindas
pemerintahan Pilatuslah yang bertanggung jawab
Kami tidak menuduh pemuka-pemuka agama dan rakyat
Sebab mereka tidak tahu
Apa yang mereka perbuat
Jadi demikianlah kepercayaan kami
Kepadamu
Aku percaya akan Allah
Bapa yang maha kuasa
Pencipta langit dan bumi
Akan Yesus Kristus
Putranya yang tunggal
Yang hidup sengsara dan wafat
Di bawah pemerintahan Pontius Pilatus…
Apakah kamu sepakat dengan Credo ini?
***
Kawan-kawan mulai menjual harta milik
Mengelolanya bersama-sama
Mulailah kini
Kawan-kawan hidup sesuai dengan kebutuhan
***
Petrus begitu marah ketika tahu
Ananias dan isterinya Safira berbohong
Mereka menjual tanah
cuma sebagian yang dilaporkan kepada kawan-kawan
Hal yang tak kuduga
Petrus menjatuhkan hukuman mati
Pada sepasang suami-isteri yang berbohong itu
Inilah hukuman mati yang pertama kali dijatuhkan
Semenjak kami berkumpul sebagai kawan sehidup semati
Kalau kamu masih hidup
Apakah kamu sepakat?
Kupikir tidak.
Petrus dan kawan-kawan terlalu emosional
Atau kami takut terhadap segala bentuk pengkhianatan?
Terhadap segala bentuk ketidakjujuran?
Karena pelajaran dari Yudas Iskariot?
***
Ketika hukuman mati dijalankan
Aku pergi meninggalkannya
Tak tahan
Melihat darah mengalir begitu dekat
Dengan hidupku
Aku sembunyi
Menangis
Tapi
Takkan pernah kutinggalkan mereka
Bagaimanapun merekalah yang terbaik:
belajar cinta
kasih
cita-cita
bagaimana seharusnya anak-anak manusia ini hidup
makna kekuasaan
hidupku
darimana asalku
penjaraku
pembebasanku
bersama-sama
pemuda-pemuda nelayan
pemuda-pemuda miskin
petani-petani dan para pekerja kebun anggur
orang-orang yang jujur
***
aku takkan lagi menangis
di mana kamu malam ini
tidur di mana
Bisa kita bertemu di tempat biasa?
*****
Ditulis pertama kali di Jakarta 4 September 1999
Ditulis lagi dengan perubahan dan dianggap selesai juga di Jakarta, Minggu, jam 17.29 wib 11 Mei 2003

10 komentar:

Asri mengatakan...

Baca puisi yang berbentuk cerita ini, aku jadi ingat Da Vinci Code nya Dan Brown. Di buku itu dibilang kalau Maria Magdalena itu sejatinya adalah istri dari Yesus dan mereka punya anak.

Ini puisi tentang itu, kah?

ninuk mardiana mengatakan...

Puisi ini jelas maksud dan keberpihakannya. karena itu akan lebih asyik kalau enggak terlalu kentara supaya imajinasi dan intrepreatasi bisa bermain lebih luas. Tapi, juga jangan jadi terlalu ruwet, nanti enggak kebaca. :):):)

Mulyadi J. Amalik mengatakan...

Isi puisi "Balada Cinta Lena" mengingatkanku pada puisi W.S. Rendra, "Maria Zaitun". Namun, gaya balada dan cara berceritanya mengingatkanku pada "Pengakuan Pariyem" karya Linus Suryadi AG. Bila AJ Susmana bisa mengeksplorasi ini lebih jauh, maka gaya ini bisa jadi tipenya. Hal yang menjadi perhatian pembaca pada puisi liris ialah nuansa puisi. "Balada Cinta Lena" memiliki nuansa yang kuat, terutama penghayatan akan nasib dan imanensi-nya. Sama halnya puisi pendek, puisi panjang memang tak mesti ada bingkai dan alur cerita, tetapi dua hal itu sangat penting sebagai daya pikat dan agar pembaca tidak bosan. Kurasa, aku menikmati puisi "Balada..." ini, walaupun ada pengulangan-pengulangan kalimat yang membuat hambar. (Mulyadi J. Amalik)

Anonim mengatakan...

Membaca sajak-sajak ini seperti mendapat instruksi dari jiwa. Menimbang..., Mengingat..., maka berangkatlah ke medan juang. Jangan kembali sebelum selesai. (Dominggus Oktavianus)

Anonim mengatakan...

Kami membaca situasi dan kami punya sikap: kami sadar dan kami bergerak. kemandegan berubah jadi gemuruh politik..sesaat kami bingung tapi cepat tenang dan kembali datang. Bukan untuk mengemis kekuasaan dan kehidupan, tapi untuk pembebasan Tanah Air dari segala penindasan. AJ Susmana adalah sosok yang menjadi bagian. (Agus Jabo-Ketua PAPERNAS-Koordinator SPARTAN)

Anonim mengatakan...

gambaran kegelisahan atas kondisi sosial yang disentuh dengan balada cinta. lumayan, ada nuansa religinya...(Faridha Hidayati, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro)

Anonim mengatakan...

bangsa ini telah kehilangan ruh cinta dan kasih sayang dan kehilangan itu telah muncul kembali dalam puisi kawan Mono terutama di balada Lena. ( Winarso ).

Anonim mengatakan...

Membaca puisi kawan AJ, sungguh luar biasa. Mencoba menapaki pikiranmu, barangkali di suatu masa Anda pernah menerima pengajaran agama yang kuat, dan barangkali kamu mau berkata hidupmu punya pengalaman batin bersama TUHAN. ini juga yang berangkali mengilhami religiositasmu, tentang situasi zaman. Tapi, aku juga bertanya, kamu sendiri mau omong apa tentang keadaan zaman ini? Tentang penghargaan orang kecil yang kau eksplisitkan dengan pelacur yang notabene selalu dipinggirkan dan tertindas, ataukan Yesus yang tak mampu campur tangan mengubah negara ini yang semakin carut marut, atau tentang apa yang tak kupahami yang hendak kau sampaikan? Atau barangkali tentang hidupmu yang tak mau terikat sesuatu, meski atas nama 'hubungan khusus' yaah aku cuma menebak-nebak, lantaran hidupmu sampai hari ini belum terikat. atau perjuanganmu melawan rezim otoritas yang tak pernah berhenti menindas dan memasukan kapitalisme yang memberangus negeri ini. (Keiza Yemimma)

Anonim mengatakan...

puisi-puisi yang menggugah, mengingatkan mereka yang lupa bahwa di luar sana masih banyak ketidak-adilan. (Fitri Supratiwi- Antara)

Anonim mengatakan...

http://www.academia.edu/8102755/KETERWAKILAN_Kita_dan_Pengrajin_Kata-Kata