Situasi Indonesia hari ini sudah jauh berbeda. Tidak seperti yang tergambarkan dalam puisi Peringatan yang legendaris karya penyair Wiji Thukul, yang masih hilang hingga hari ini;
yang syair penutupnya menjadi seruan perlawanan terhadap Tirani Jenderal Soeharto:
“Hanya ada satu kata: Lawan!”
Saat ini
setidaknya ada demokrasi. Partai-Partai bisa didirikan lebih bebas.
Lembaga-lembaga penguat demokrasi dan hak-hak rakyat didirikan. Demontrasi
bukan kriminal yang bisa dituduh subversib dan komunis tapi sudah menjadi hak
dan cara demokratis rakyat dalam mengemukakan pendapat yang dilindungi
Undang-Undang.
Bisa mengeluh di Komnas HAM, di Ombudsman, Komnas Perempuan, dan lain-lain bahkan di jalanan dan depan Istana Presiden.
Itu artinya sudah tidak gawat situasi negara karena ada saluran untuk berbagai keluhan rakyat.
Omongan penguasa pun sudah boleh dibantah bahkan sesuka hati atau sak udele dhewe kata Orang Jawa juga boleh. Tidak perlu ilmiah dan harus memberikan solusi atau pun konstruktif.
Kebenaran tidak pasti terancam; selalu bisa didiskusikan dan diperdebatkan.
Hampir tak ada usul yang ditolak tanpa ditimbang hanya mungkin diabaikan karena berbagai alasan tapi usulan yang baik tentu juga diterima.
Juga hampir tak ada suara dibungkam dan kritik dilarang tanpa alasan atau pun seseorang gampang dituduh subversif dan mengganggu keamanan sehingga bisa dilenyapkan begitu saja seperti jaman Orde Baru.
Semua itu jelas sudah berubah apalagi bila kita ingat kata-kata bijak Herakleitos, filsuf Yunani abad ke-4 SM bahwa segala sesuatu mengalir dan berubah.