AJ SUSMANA & POEMS
selamat datang di dunia kata aj susmana
Selasa, 12 Maret 2024
Jumat, 02 Februari 2024
P E R I N G A T A N atas P E R I N G A T A N
Situasi Indonesia hari ini sudah jauh berbeda. Tidak seperti yang tergambarkan dalam puisi Peringatan yang legendaris karya penyair Wiji Thukul, yang masih hilang hingga hari ini;
yang syair penutupnya menjadi seruan perlawanan terhadap Tirani Jenderal Soeharto:
“Hanya ada satu kata: Lawan!”
Saat ini
setidaknya ada demokrasi. Partai-Partai bisa didirikan lebih bebas.
Lembaga-lembaga penguat demokrasi dan hak-hak rakyat didirikan. Demontrasi
bukan kriminal yang bisa dituduh subversib dan komunis tapi sudah menjadi hak
dan cara demokratis rakyat dalam mengemukakan pendapat yang dilindungi
Undang-Undang.
Bisa mengeluh di Komnas HAM, di Ombudsman, Komnas Perempuan, dan lain-lain bahkan di jalanan dan depan Istana Presiden.
Itu artinya sudah tidak gawat situasi negara karena ada saluran untuk berbagai keluhan rakyat.
Omongan penguasa pun sudah boleh dibantah bahkan sesuka hati atau sak udele dhewe kata Orang Jawa juga boleh. Tidak perlu ilmiah dan harus memberikan solusi atau pun konstruktif.
Kebenaran tidak pasti terancam; selalu bisa didiskusikan dan diperdebatkan.
Hampir tak ada usul yang ditolak tanpa ditimbang hanya mungkin diabaikan karena berbagai alasan tapi usulan yang baik tentu juga diterima.
Juga hampir tak ada suara dibungkam dan kritik dilarang tanpa alasan atau pun seseorang gampang dituduh subversif dan mengganggu keamanan sehingga bisa dilenyapkan begitu saja seperti jaman Orde Baru.
Semua itu jelas sudah berubah apalagi bila kita ingat kata-kata bijak Herakleitos, filsuf Yunani abad ke-4 SM bahwa segala sesuatu mengalir dan berubah.
Selasa, 09 Januari 2024
Kembali Kepada Pemilik Kisah (Sebuah Strategi Kebudayaan)
Pada mulanya adalah kata. Kata itu telah menjadi film dan tinggal di antara kita; menjadi industri yang melupakan kata. Akibatnya kata menjadi kering dan film (nasional) pun menjadi kering; tak ada asupan bergizi yang mengalir dari kata.
Ungkapan tersebut adalah uneg-uneg
betapa jomplangnya Negara (lebih jelasnya: Pemerintah) menghidupi kehidupan
spiritualnya (baca juga: kebudayaan) dalam hal ini skup bidang Sastra dan Film.
Kehidupan dunia film terlihat begitu mewah, glamour, berbiaya tinggi sementara
Sastra seperti terlunta-lunta dari panggung kesepian ke kesepian berikutnya
dengan sekali-kali tepukan menyambut
kelahiran sebuah Novel (buku) dan
angkat gelas pada sang juara yang bingung dengan nilai kejuaraannya di antara
keagungan masa lalu dalam sebuah Fakultas atau Jurusan Sastra dan suatu saat
meraih mimpi sebagai sastrawan dunia yang disambut di rumah Nobel dengan materi
yang berlimpah. Tapi pada saat itu, usia sudah tua menjelang masuk kubur
sehingga barangkali masih berguna menjadi inspirasi kisah berikutnya bagi
generasi mendatang. Betapa susah untuk mendapat Hadiah Nobel yang di sana
Sastra diagungkan sebab di sana tidak ada Hadiah untuk tukang bikin film. Ini
tentu saja bukan tentang perkara Nobel tetapi bagaimana menciptakan basis yang
kuat buat dunia perfilman nasional yang bermutu dan juga sekaligus menggerakkan
industri kreatif.
Menjadi sastrawan di Indonesia tentu
berat karena tak ada kondisi yang mendukung seperti Hadiah Sastra Nasional dan
atau daerah yang besar. Setiap tahun sekali misalnya. Pramoedya Ananta Toer dan
WS Rendra kaya lebih karena dirinya
sendiri, bukan karena peran negara dan ini merupakan keajaiban yang berakar
pada kepercayaan bahwa seorang pujangga akan lahir pada zamannya. Peran ini
justru diambil oleh swasta. Coba cek hadiah
Sastra di Indonesia. Swasta lebih menonjol mengambil peran seperti
hadiah yang menggiurkan dari Khatulistiwa Award misalnya pernah 100 juta rupiah!
Bandingkan dengan Dewan Kesenian Jakarta untuk tahun 2023, 25 juta untuk juara
menulis masing-masing untuk Novel dan Puisi. Lomba-lomba yang lain lebih rendah
nilainya yang tidak cukup untuk menutup biaya riset dan penulisan sebuah Novel.
(Barangkali) Seorang penulis novel standardnya membutuhkan waktu untuk menulis
1 tahun atau dua tahun sementara risetnya bisa lebih panjang dari itu. Total
menulis novel professional kira-kira 3 sampai 5 tahun. Karena itu hadiah yang
pantas untuk sebuah Novel Indonesia dari negara adalah sekitar 500 Juta rupiah
mengingat dari swasta seperti Khatulistiwa Literary Award yang kemudian
berganti Kusala Sastra Khatulistiwa
sebesar Rp 100 juta.
Mengapa sastra begitu penting bagi
kelangsungan sebuah bangsa sehingga perlu mendapatkan hadiah besar dan negara
harus berperan aktif menghidupkan dunia sastra sebelum nanti dengan sendirinya
menghidupkan dunia film nasional? Ada banyak alasan tentunya yang bisa
dikemukakan.
Tetapi yang pokok dan prinsip
adalah karena Sastra mendahului sejarah.
Kelangsungan hidup manusia dan selanjutnya agar bermakna dan abadi haruslah dikisahkan. Kisah tidak
membutuhkan fakta sebagaimana sejarah membutuhkannya. Tetapi peristiwa demi
peristiwa yang dimaknai dan berarti harus dikisahkan dari generasi ke generasi
dalam berbagai cara yang kadang perlu mengaburkan fakta yang terjadi demi
tujuan yang hendak dicapai. Di situlah kita mengerti makna dari perkataan:
“Pada mulanya adalah kata”
Ronggawarsito pujangga Surakarta,
misalnya, yang sudah kehilangan sejarah sastra Jawa Kuno karena sebagaimana
dikatakan Poerbatjaraka bahwa Ronggawarsito tidak mengerti bahasa Jawa kuno,
tetapi terpaksa karena posisinya sebagai pujangga istana yang harus memberi
“nasehat” kepada raja terpaksa menuliskan karya-karya sastranya selain dari
kemurnian hatinya sebagai pujangga tapi juga terkadang salah dalam memahami
warisan sastra Jawa Kuno. Lalu Dinasti Mataram yang juga tidak mengerti sejarah
masa lalunya menuliskan sejarah Jawa Kuno terutama Majapahit berbeda dengan apa
yang ditemukan kaum sejarawan tetapi kisah seperti dalam Babad Tanah Jawa, nama-nama Brawijaya sebagai raja-raja
Majapahit sangat melekat di sanubari orang Jawa dan menghidupi serta mengiringi
kebesaran Mataram. Kisah atau sastra itulah yang awal mula memberi makna
keberadaan manusia. Dalam hubungannya dengan bangsa, sastra nasional itulah
yang akan menjadi basis kepribadian bangsa yang harus dijaga dan dikembangkan.
Karena itu, sastra nasional tidak bisa
dibiarkan dihidupi oleh swasta atau asing sebab sastra menjadi jiwa bangsa. Apa
yang dilakukan oleh Kusala Khatulistiwa Award,dengan memberikan hadiah yang
besar (dan itu pantas) adalah kritik
terhadap negara yang tidak menghidupkan sastra nasional. Negara seharusnya
memberikan hadiah sastra lebih besar dari apa yang dilakukan Richard Oh dengan
Kusala Khatulistwa Awardnya itu sehingga bisa menjadi semacam Nobel ala
Indonesia,
Kalau kita bicara Hilirisasi yang lagi
ramai dalam dunia ekonomi dan masa depan industri kita sehingga sebagian calon
presiden dan cawapres perlu menjadikannya bahan kampanye untuk kemenangan
Pemilu Presiden 2024, Dunia Film adalah hilirisasinya. Tapi tanpa menghidupkan
dunia sastra sebagai hulu, dengan
memberikan peluang lebih besar untuk penemu kisah dan makna peristiwa
kehidupan manusia, para sastrawan dan calon sastrawan itu, kita pun tidak bisa
mengharapkan dunia (industri) film nasional yang bermutu akan tercipta. Kita
sering silau dengan dengan bagusnya film ini itu dari berbagai bangsa tetapi lupa bagaimana mereka
memperlakukan hulu (sastra) lebih bagus dari kita: Indonesia.
Marilah kita kembali kepada pemilik
kisah (kasih hadiah yang besar di sini). Nobel sangat mengerti ini. Karena
itu ada hadiah sastra bukan tukang film
karena sastrawan adalah juga penemu seperti halnya penemuan di bidang fisika,
teori,dan ilmu lain-lain. Film hanyalah alat diseminasi gagasan dan pesan atau
sebagai alat propaganda dan penyebar yang modern dan efektif karena watak
visualnya. Karena itu dengan memberi peluang untuk lahirnya atau terciptanya
penulis sebanyak mungkin dan menempatkannya sebagai raja atau ratu dalam dunia kisah bukan, para tukang film, dengan hadiah uang yang banyak selayaknya
Hadiah Nobel, niscaya kehidupan film nasional pun akan berkembang hidup dan
berkualitas. Orang mungkin tahu betapa bagusnya film Red Cliff tapi tahukah dia
kalau Red Cliff hanya fragmen dari sebuah novel karya…?
Sebagai strategi kebudayaan,
menghidupkan atau menggairahkan dunia hulu yaitu sastra dengan memberikan
hadiah ala Nobel Indonesia ini
barangkali layak untuk diajukan kepada para capres dan cawapres yang
kini berlaga di Pemilu 2024. Atau barangkali, para capres dan cawapres
mempunyai strategi kebudayaan yang lain yang hendak didialogkan dengan para
pekerja seni dan budaya?
Tahun Baru (Happy New Year)
Nil novi sub sole
Tak ada yang baru di bawah matahari
Matahari oligarki
Ya
Hanya
Menghisap kehidupan
Di setiap tahun yang berganti
Seakan berganti bulu saja
Di setiap hari
Hari kerja
Seperti tak ada Hari Tuhan
Yang Tuhan pun libur setelah enam hari mencipta
Semua itu
Tak terlihat
kaum buruh biasa
Yang bekerja hanya menanti upah
Di antara riuh rendah pasar modal dan tenaga kerja
Seperti air melenyap di siang panas
Walau doa-doa telah dipanjatkan
Ora et Labora
Yang tidak bekerja janganlah makan
Oligarki!
Bagai hantu di siang bolong
Selamat Tahun Baru!
Yang mencari pasti menemukan.
Yang berjuang pasti menang.
Kita tangkap hantu di siang bolong itu
Bagaikan Ki Ageng Selo menangkap Dewa Petir!
Hingga rakyat biasa bisa melihat
Wajah oligarki yang serakah
Kapitalis
Yang mencipta dunia ketimpangan
Membangunkan
Piramida-Piramida kehidupan
Bukan tugu-tugu
Di setiap jalan kemanusiaan yang dimenangkan
Selamat Tahun Baru!
Tahun Kemenangan
Di bawah
fajar matahari
rakyat biasa
Yang sadar berjuang
Konsisten bergerak
Sebab setiap hari adalah harinya Tuhan
Ada embun pagi
Yang melenyap
Mengiringi langkah-langkah kerja
Menuju Tahun Kemenangan yang pasti
Pada saat itu
Di bawah matahari
Selalu ada yang baru
Karena rakyat biasa mulai menuliskan kisahnya sendiri
tentang berakit-rakit dahulu bersenang-senang kemudian
tentang habis gelap terbitlah terang
tentang tugu kemenangan yang dibangun dari tumpukan kekalahan
tentang bersatu kita teguh-bercerai kita runtuh
tentang merdeka atau mati
tentang kemenangan-kemenangan karena persatuan dan gotong royong
tentang air mata putri duyung yang menjadi mutiara
dan tentang-tentang yang lain, kisah-kisah baru yang tak habis kamu baca di tahun yang baru
Sanghyang, 1 Januari 2024
Minggu, 31 Desember 2023
Tentang Dirimu
Kepada siapa aku mesti bertanya
Tentang dirimu
Kabar baik atau kabar buruk
Hidup atau mati
Tak ada kabar burung
Burung Prenjak kesiangan
kehilangan suara
Penyanyi keliling
memukul tong kosong
demi perut yang sudah kosong
Lagunya kosong
Tak ada tentang dirimu
Kepada siapa aku mesti bertanya
Langit Jakarta kotor
Polusi memenuhi udara dan otak
Mengotori kesimpulan
seakan tanpa riset
Aku tidak bisa berpikir
Tapi berharap juga pada Langit menemukan jejakmu
Siapa?
Polisi?
Tentara?
Aku tuliskan lagi puisi ini
di tembok
yang telah sangat kita kenal
Di sana kita pernah meratap bersama
Menangis agar hari-hari esok lebih baik dari hari ini dan yang telah lalu
Rejeki lancar
Kesehatan memenuhi jiwa
Tapi belum juga tiba
Kita terpisah
Pada dinding ratapan ini
Aku berharap para pendoa membaca dan para netizen bernyanyi seperti para troubadour
berkabar
Lalu burung-burung pun terbang ke arah yang seakan belum pernah dilewati manusia
Dan kamu mendengar laguku
Cempaka, Menjelang Rapimnas III PRIMA 10-11 September 23
https://tokopedia.link/sERW69m0ZFb
Sabtu, 04 Maret 2023
Kebahagiaan dan Kedukaan
Aku ingin merayakan kebahagiaan
Tapi kedukaan menyahut
Aku bagaimana?
Nang Ning Nung
Ning Neng Nong
Kita rayakan
Setengah kebahagiaan
Setengah kedukaan
Ku tak mau!
Serentak Sang Bahagia dan Sang Duka menyahut
Kebahagiaan bisa ditunda, kata Ibu
Nang Ning Nung
Ning Nang Nong
Nang Ning Nung
Ning Nang Nong
Bahagia dan Duka
Datang bergantian dan juga bersamaan
Kadang tipis beda keduanya
Hanya aku dan kamu yang tahu
Sejatinya
C'est la Vie
Sang Hyang, 4 Maret 2023
Minggu, 11 Desember 2022
Kabar dari Surabaya
in memoriam Djoko Permono