Pada mulanya adalah kata. Kata itu telah menjadi film dan tinggal di antara kita; menjadi industri yang melupakan kata. Akibatnya kata menjadi kering dan film (nasional) pun menjadi kering; tak ada asupan bergizi yang mengalir dari kata.
Ungkapan tersebut adalah uneg-uneg
betapa jomplangnya Negara (lebih jelasnya: Pemerintah) menghidupi kehidupan
spiritualnya (baca juga: kebudayaan) dalam hal ini skup bidang Sastra dan Film.
Kehidupan dunia film terlihat begitu mewah, glamour, berbiaya tinggi sementara
Sastra seperti terlunta-lunta dari panggung kesepian ke kesepian berikutnya
dengan sekali-kali tepukan menyambut
kelahiran sebuah Novel (buku) dan
angkat gelas pada sang juara yang bingung dengan nilai kejuaraannya di antara
keagungan masa lalu dalam sebuah Fakultas atau Jurusan Sastra dan suatu saat
meraih mimpi sebagai sastrawan dunia yang disambut di rumah Nobel dengan materi
yang berlimpah. Tapi pada saat itu, usia sudah tua menjelang masuk kubur
sehingga barangkali masih berguna menjadi inspirasi kisah berikutnya bagi
generasi mendatang. Betapa susah untuk mendapat Hadiah Nobel yang di sana
Sastra diagungkan sebab di sana tidak ada Hadiah untuk tukang bikin film. Ini
tentu saja bukan tentang perkara Nobel tetapi bagaimana menciptakan basis yang
kuat buat dunia perfilman nasional yang bermutu dan juga sekaligus menggerakkan
industri kreatif.
Menjadi sastrawan di Indonesia tentu
berat karena tak ada kondisi yang mendukung seperti Hadiah Sastra Nasional dan
atau daerah yang besar. Setiap tahun sekali misalnya. Pramoedya Ananta Toer dan
WS Rendra kaya lebih karena dirinya
sendiri, bukan karena peran negara dan ini merupakan keajaiban yang berakar
pada kepercayaan bahwa seorang pujangga akan lahir pada zamannya. Peran ini
justru diambil oleh swasta. Coba cek hadiah
Sastra di Indonesia. Swasta lebih menonjol mengambil peran seperti
hadiah yang menggiurkan dari Khatulistiwa Award misalnya pernah 100 juta rupiah!
Bandingkan dengan Dewan Kesenian Jakarta untuk tahun 2023, 25 juta untuk juara
menulis masing-masing untuk Novel dan Puisi. Lomba-lomba yang lain lebih rendah
nilainya yang tidak cukup untuk menutup biaya riset dan penulisan sebuah Novel.
(Barangkali) Seorang penulis novel standardnya membutuhkan waktu untuk menulis
1 tahun atau dua tahun sementara risetnya bisa lebih panjang dari itu. Total
menulis novel professional kira-kira 3 sampai 5 tahun. Karena itu hadiah yang
pantas untuk sebuah Novel Indonesia dari negara adalah sekitar 500 Juta rupiah
mengingat dari swasta seperti Khatulistiwa Literary Award yang kemudian
berganti Kusala Sastra Khatulistiwa
sebesar Rp 100 juta.
Mengapa sastra begitu penting bagi
kelangsungan sebuah bangsa sehingga perlu mendapatkan hadiah besar dan negara
harus berperan aktif menghidupkan dunia sastra sebelum nanti dengan sendirinya
menghidupkan dunia film nasional? Ada banyak alasan tentunya yang bisa
dikemukakan.
Tetapi yang pokok dan prinsip
adalah karena Sastra mendahului sejarah.
Kelangsungan hidup manusia dan selanjutnya agar bermakna dan abadi haruslah dikisahkan. Kisah tidak
membutuhkan fakta sebagaimana sejarah membutuhkannya. Tetapi peristiwa demi
peristiwa yang dimaknai dan berarti harus dikisahkan dari generasi ke generasi
dalam berbagai cara yang kadang perlu mengaburkan fakta yang terjadi demi
tujuan yang hendak dicapai. Di situlah kita mengerti makna dari perkataan:
“Pada mulanya adalah kata”
Ronggawarsito pujangga Surakarta,
misalnya, yang sudah kehilangan sejarah sastra Jawa Kuno karena sebagaimana
dikatakan Poerbatjaraka bahwa Ronggawarsito tidak mengerti bahasa Jawa kuno,
tetapi terpaksa karena posisinya sebagai pujangga istana yang harus memberi
“nasehat” kepada raja terpaksa menuliskan karya-karya sastranya selain dari
kemurnian hatinya sebagai pujangga tapi juga terkadang salah dalam memahami
warisan sastra Jawa Kuno. Lalu Dinasti Mataram yang juga tidak mengerti sejarah
masa lalunya menuliskan sejarah Jawa Kuno terutama Majapahit berbeda dengan apa
yang ditemukan kaum sejarawan tetapi kisah seperti dalam Babad Tanah Jawa, nama-nama Brawijaya sebagai raja-raja
Majapahit sangat melekat di sanubari orang Jawa dan menghidupi serta mengiringi
kebesaran Mataram. Kisah atau sastra itulah yang awal mula memberi makna
keberadaan manusia. Dalam hubungannya dengan bangsa, sastra nasional itulah
yang akan menjadi basis kepribadian bangsa yang harus dijaga dan dikembangkan.
Karena itu, sastra nasional tidak bisa
dibiarkan dihidupi oleh swasta atau asing sebab sastra menjadi jiwa bangsa. Apa
yang dilakukan oleh Kusala Khatulistiwa Award,dengan memberikan hadiah yang
besar (dan itu pantas) adalah kritik
terhadap negara yang tidak menghidupkan sastra nasional. Negara seharusnya
memberikan hadiah sastra lebih besar dari apa yang dilakukan Richard Oh dengan
Kusala Khatulistwa Awardnya itu sehingga bisa menjadi semacam Nobel ala
Indonesia,
Kalau kita bicara Hilirisasi yang lagi
ramai dalam dunia ekonomi dan masa depan industri kita sehingga sebagian calon
presiden dan cawapres perlu menjadikannya bahan kampanye untuk kemenangan
Pemilu Presiden 2024, Dunia Film adalah hilirisasinya. Tapi tanpa menghidupkan
dunia sastra sebagai hulu, dengan
memberikan peluang lebih besar untuk penemu kisah dan makna peristiwa
kehidupan manusia, para sastrawan dan calon sastrawan itu, kita pun tidak bisa
mengharapkan dunia (industri) film nasional yang bermutu akan tercipta. Kita
sering silau dengan dengan bagusnya film ini itu dari berbagai bangsa tetapi lupa bagaimana mereka
memperlakukan hulu (sastra) lebih bagus dari kita: Indonesia.
Marilah kita kembali kepada pemilik
kisah (kasih hadiah yang besar di sini). Nobel sangat mengerti ini. Karena
itu ada hadiah sastra bukan tukang film
karena sastrawan adalah juga penemu seperti halnya penemuan di bidang fisika,
teori,dan ilmu lain-lain. Film hanyalah alat diseminasi gagasan dan pesan atau
sebagai alat propaganda dan penyebar yang modern dan efektif karena watak
visualnya. Karena itu dengan memberi peluang untuk lahirnya atau terciptanya
penulis sebanyak mungkin dan menempatkannya sebagai raja atau ratu dalam dunia kisah bukan, para tukang film, dengan hadiah uang yang banyak selayaknya
Hadiah Nobel, niscaya kehidupan film nasional pun akan berkembang hidup dan
berkualitas. Orang mungkin tahu betapa bagusnya film Red Cliff tapi tahukah dia
kalau Red Cliff hanya fragmen dari sebuah novel karya…?
Sebagai strategi kebudayaan,
menghidupkan atau menggairahkan dunia hulu yaitu sastra dengan memberikan
hadiah ala Nobel Indonesia ini
barangkali layak untuk diajukan kepada para capres dan cawapres yang
kini berlaga di Pemilu 2024. Atau barangkali, para capres dan cawapres
mempunyai strategi kebudayaan yang lain yang hendak didialogkan dengan para
pekerja seni dan budaya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar