harga Rp 30.000
pesan sms/wa 081286959527
Mengobarkan Kembali Semangat Trisakti
OLEH: RETOR AW KALIGIS
Kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan, disebut Soekarno, hanya sebuah jembatan emas.
Usaha menegakkan kemandirian bangsa jauh lebih sulit karena tidak hanya berhadapan dengan kekuatan eksternal, tapi juga harus menghadapi unsur dalam negeri sendiri yang potensial melemahkannya.
AJ Susmana mengupas pengaruh dinamika eksternal dan konsolidasi internal bangsa terhadap kemandirian bangsa, mulai dari dominasi modal asing di tengah pembungkaman hak-hak rakyat di era Orde Baru, merajalelanya korupsi sejak Orde Baru hingga ”diaspora”-nya pada era reformasi, politik tanpa karakter di tengah menjamurnya partai-partai politik, tidak dibuatnya strategi membangun industri nasional yang kuat, penjualan aset-aset negara, masalah perlindungan konsumen, hingga pro-kontra ”Goyang Inul” dan UU Pornografi.
Buku ini merupakan kumpulan tulisannya dari 2004 sampai awal 2009, baik di media cetak seperti harian Kompas maupun media daring.
Sejak dekade terakhir Orde Baru, alumnus S1 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) ini banyak bergiat di gerakan pro demokrasi. Sekarang ia menjabat Wakil Sekretaris Jenderal DPP Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional), organisasi yang dituding membangkitkan komunisme oleh sebagian pihak.
Tapi buah pemikiran AJ Susmana sesungguhnya lebih mengobarkan semangat Soekarnoisme. Berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya yang dikonseptualisasi Bung Karno sebagai “Trisakti” terasa bergema dalam esai-esainya.
Penutupan Sosial
Persoalan kemandirian bangsa berkaitan erat dengan apa yang disebut Max Weber sebagai fenomena penutupan sosial, yakni proses yang dibentuk kolektivitas sosial untuk memaksimalkan ganjaran melalui pembatasan kesempatan kepada segelintir pihak saja. Pemonopolian kesempatan tertentu dilakukan dengan membatasi jalan untuk memperoleh sumber daya dan kesempatan kepada segelintir orang yang memenuhi syarat.
Di bidang ekonomi, Indonesia memiliki tanah air yang luas dan kaya, tapi lebih dinikmati pihak asing dan segelintir pihak. Negeri ini menjadi ladang eksploitasi sumber daya alam dan banyak memarginalkan masyarakat lokal. Industri yang berkembang lebih mempertimbangkan Indonesia sebagai penyedia tenaga kerja murah sebagai faktor penarik.
Transisi dari rezim otoriter ke demokrasi belum melakukan upaya terstruktur dan sistematis untuk memberdayakan rakyat. Bahkan, liberalisasi ekonomi disokong tanpa membangun politik-ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Desentralisasi cenderung memindahkan “pusat-pusat kekuasaan” baru berikut perilaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) ke daerah. Otonomi daerah melahirkan para pemimpin lokal yang memiliki kekuasaan seperti “raja-raja kecil” di daerah.
Dalam tulisan ”Berpolitik dengan Karakter”, AJ Susmana menyoroti peran partai politik yang dominan di era reformasi, tapi tidak memberikan kepemimpinan politik yang baik terhadap rakyat. Padahal, bagaimanapun rakyat bisa dewasa dalam berpolitik tentu membutuhkan teladan dan ajaran politik yang berkarakter dari partai-partai, termasuk para politisinya (hlm 58-61).
Pada masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik. Akibatnya, tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai. Konflik antarsuku dan agama lalu terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Hubungan antargolongan sering kali tidak berlangsung sinergis.
AJ Susmana menilai perbedaan pendapat, termasuk dalam peristiwa antibudaya seperti kontroversi “Goyang Inul”, pembakaran karya instalasi Perahu Doa Tisna Sanjaya, dan kasus Tempo versus Tommy Winata, seharusnya tak sekadar berhenti pada pelarangan, tetapi harus diletakkan pada kerangka tegaknya demokrasi sendiri agar demokrasi kian berkualitas dan dewasa. Pelarangan dengan motif korupsi kebenaran tanpa demokrasi seharusnya dihindari manusia yang berbudi dan berakal. Demokrasi mengarahkan ”pelarangan” menjadi kerja keras untuk memperjuangkan kebenaran ontologis, aksiologis, dan epistemologis (hlm 1-5).
Di bawah payung demokrasi inilah kita bisa menyingkirkan ego golongan demi menuntaskan persoalan-persoalan mendesak rakyat; bersatu, bergandengan tangan mempertegas makna kemerdekaan kita dan bila perlu mengobarkan kembali perang kemerdekaan. Setidaknya, kita menolak menjadi bangsa kuli sebagaimana mimpi-mimpi pejuang kemerdekaan kita jauh sebelum 1945 (hlm 102).
Penulis adalah Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Indonesia; Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara
07 Nov 2009, Sinar Harapan
Kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan, disebut Soekarno, hanya sebuah jembatan emas.
Usaha menegakkan kemandirian bangsa jauh lebih sulit karena tidak hanya berhadapan dengan kekuatan eksternal, tapi juga harus menghadapi unsur dalam negeri sendiri yang potensial melemahkannya.
AJ Susmana mengupas pengaruh dinamika eksternal dan konsolidasi internal bangsa terhadap kemandirian bangsa, mulai dari dominasi modal asing di tengah pembungkaman hak-hak rakyat di era Orde Baru, merajalelanya korupsi sejak Orde Baru hingga ”diaspora”-nya pada era reformasi, politik tanpa karakter di tengah menjamurnya partai-partai politik, tidak dibuatnya strategi membangun industri nasional yang kuat, penjualan aset-aset negara, masalah perlindungan konsumen, hingga pro-kontra ”Goyang Inul” dan UU Pornografi.
Buku ini merupakan kumpulan tulisannya dari 2004 sampai awal 2009, baik di media cetak seperti harian Kompas maupun media daring.
Sejak dekade terakhir Orde Baru, alumnus S1 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) ini banyak bergiat di gerakan pro demokrasi. Sekarang ia menjabat Wakil Sekretaris Jenderal DPP Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional), organisasi yang dituding membangkitkan komunisme oleh sebagian pihak.
Tapi buah pemikiran AJ Susmana sesungguhnya lebih mengobarkan semangat Soekarnoisme. Berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya yang dikonseptualisasi Bung Karno sebagai “Trisakti” terasa bergema dalam esai-esainya.
Penutupan Sosial
Persoalan kemandirian bangsa berkaitan erat dengan apa yang disebut Max Weber sebagai fenomena penutupan sosial, yakni proses yang dibentuk kolektivitas sosial untuk memaksimalkan ganjaran melalui pembatasan kesempatan kepada segelintir pihak saja. Pemonopolian kesempatan tertentu dilakukan dengan membatasi jalan untuk memperoleh sumber daya dan kesempatan kepada segelintir orang yang memenuhi syarat.
Di bidang ekonomi, Indonesia memiliki tanah air yang luas dan kaya, tapi lebih dinikmati pihak asing dan segelintir pihak. Negeri ini menjadi ladang eksploitasi sumber daya alam dan banyak memarginalkan masyarakat lokal. Industri yang berkembang lebih mempertimbangkan Indonesia sebagai penyedia tenaga kerja murah sebagai faktor penarik.
Transisi dari rezim otoriter ke demokrasi belum melakukan upaya terstruktur dan sistematis untuk memberdayakan rakyat. Bahkan, liberalisasi ekonomi disokong tanpa membangun politik-ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Desentralisasi cenderung memindahkan “pusat-pusat kekuasaan” baru berikut perilaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) ke daerah. Otonomi daerah melahirkan para pemimpin lokal yang memiliki kekuasaan seperti “raja-raja kecil” di daerah.
Dalam tulisan ”Berpolitik dengan Karakter”, AJ Susmana menyoroti peran partai politik yang dominan di era reformasi, tapi tidak memberikan kepemimpinan politik yang baik terhadap rakyat. Padahal, bagaimanapun rakyat bisa dewasa dalam berpolitik tentu membutuhkan teladan dan ajaran politik yang berkarakter dari partai-partai, termasuk para politisinya (hlm 58-61).
Pada masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik. Akibatnya, tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai. Konflik antarsuku dan agama lalu terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Hubungan antargolongan sering kali tidak berlangsung sinergis.
AJ Susmana menilai perbedaan pendapat, termasuk dalam peristiwa antibudaya seperti kontroversi “Goyang Inul”, pembakaran karya instalasi Perahu Doa Tisna Sanjaya, dan kasus Tempo versus Tommy Winata, seharusnya tak sekadar berhenti pada pelarangan, tetapi harus diletakkan pada kerangka tegaknya demokrasi sendiri agar demokrasi kian berkualitas dan dewasa. Pelarangan dengan motif korupsi kebenaran tanpa demokrasi seharusnya dihindari manusia yang berbudi dan berakal. Demokrasi mengarahkan ”pelarangan” menjadi kerja keras untuk memperjuangkan kebenaran ontologis, aksiologis, dan epistemologis (hlm 1-5).
Di bawah payung demokrasi inilah kita bisa menyingkirkan ego golongan demi menuntaskan persoalan-persoalan mendesak rakyat; bersatu, bergandengan tangan mempertegas makna kemerdekaan kita dan bila perlu mengobarkan kembali perang kemerdekaan. Setidaknya, kita menolak menjadi bangsa kuli sebagaimana mimpi-mimpi pejuang kemerdekaan kita jauh sebelum 1945 (hlm 102).
Penulis adalah Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Indonesia; Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara
07 Nov 2009, Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar