Aku menyusuri jalanan kota
Kulihat langit mendung hitam berarak
Di antara lalu lalang orang-orang tergesa
Dan mereka yang mimpi: hujan uang segera tiba
Di dalam gedung-gedung menantang kuasa langit
Uang telah menjadi berhala yang diharap beranak-pinak
Tanpa kerja
Aku bertanya kepadamu
Dari mana semua orang ini mendapatkan uang?
Jawabmu dingin:
“Sewa, laba, upah.”
Hanya itu?
“Di luar itu, lumpen.”
Aku menyusuri jalanan kota
Kulihat orang-orang bekerja demi upah
Dalam pabrik-pabrik yang pengap tanpa K3
Kulihat pula orang mulai menghitung laba
di antara tetesan keringat buruh menanti upah sebulan
Dan mereka yang berbahagia di pagi hari
atas sewa tanah yang tak tergugat
sambil menyeruput secangkir teh hijau
Di perempatan jalan,
orang-orang tergeletak menanti recehan jatuh
penyanyi jalanan bernyanyi serak
diiringi gitar dengan dua senar yang putus
“kota ini siapa punya…kota ini siapa punya?”
Aku lihat para pelacur mulai menjajakan diri
Di antara tiang-tiang lampu jalanan kota yang berdiri angkuh
menerangi wajah-wajah yang menangisi nasib
Karena ketrampilan diri tak laku di pasar tenaga kerja
Dan jutaan penganggur berjalan gelisah
dari desa-desa yang kerontang
berharap ada malam yang ramah di kota terakhir
sambil terus bertanya:
“di mana kami bisa bekerja?!”
Tak ada jawab walau berjuta tanya
menghantam dinding-dinding kota
Hari menjelang pagi
Setelah malam tanpa tidur yang nyenyak
Tak lelah menanti fajar kemakmuran tiba
Tapi di kota
ini apa yang bisa diharapkan
Bila uang hanya
mengalir ke kantong-kantong pemungut laba?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar