lagu puisi pertama dari #KotaIniAdaDiTubuhmu
Sabtu, 04 Juni 2016
Kamis, 02 Juni 2016
Rabu, 01 Juni 2016
Hymne Darah Juang & Pada Kawan Yang Mati
Hymne Darah Juang - John Tobing &
Pada Kawan Yang Mati - AJ Susmana dari Kumpulan Puisi Kota Ini Ada Di Tubuhmu
https://www.facebook.com/rudihartono2000/videos/10154736246244942/?fallback=1
Pada Kawan Yang Mati - AJ Susmana dari Kumpulan Puisi Kota Ini Ada Di Tubuhmu
https://www.facebook.com/rudihartono2000/videos/10154736246244942/?fallback=1
Sabtu, 07 Mei 2016
Puisi Untuk Daan Mogot
Kalau Anda dari Jakarta hendak menuju Tangerang melewati Grogol, Anda akan melewati jalan besar Daan Mogot yang membentang sepanjang kurang lebih 28 km hingga menembus Kota Tangerang, yang mengantarkan pada Anda suasana kota lama Tangerang dengan berbagai suguhan kuliner yang merangsang lidah Anda, di tepian Kali Cisadane, yang mata airnya bersumber dari Gunung Pangrango.
Anda juga bisa singgah di Museum Benteng, Museum warisan budaya peranakan Tionghoa Tangerang yang juga merupakan museum kebudayaan Peranakan Tionghoa pertama di Indonesia untuk merasakan bagaimana suasana Kota ini di masa lalu dan berbagai adat dan kreasi kebudayaan China pada masa Dinasti Manchu. Letak museum di tengah hiruk-pikuk perkampungan, berdekatan dengan Klenteng Boen Tek Bio di Jl Cilame, Pasar Lama.
Baca juga: Museum Peranakan Tionghoa di Tangerang
Perjalanan menyusuri Jalan Daan Mogot dari Grogol menuju Kota Tangerang dengan kendaraan bermotor kurang lebih satu jam. Pada satu abad lebih enam belas tahun yang lalu, H.Kommer melalui Tjerita Njonja Kong Hong Nio, Toean Tanah di Babakan Afdeeling Tangerang, menggambarkan bagaimana “Jalan Raya Daan Mogot” itu ditempuh dengan kereta kuda:
“…dengan lekas kareta itoe dilariken dari kampoeng Mendjangan. …koeda iang tarik itoe kreta ada sepasang koeda batak iang amat pesat larinja. Koesirnja ia-itoe satu boedak iang amat pandei bawa karetanja maka tiada heran dalem sedikit tempo sadja kareta itoe soedah liwat Gang Chaulan, liwat Pesing dan Tjengkareng, hingga tiada lama soedah sampei di djalanan Tangerang, dimana ada sedia ampat koeda boeat penggantinja. …Dengen lekas marika itoe liwat djembatan Batoe Tjeper, Tanah Tinggi dan Tanah Babakan”. (Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003; 322-325).
Daan Mogot yang dijadikan nama jalan raya dari Jakarta, Grogol hingga Tangerang ini adalah seorang perwira Tentara Republik Indonesia, TRI dan Direktur Akademi Militer Tangerang, berpangkat Mayor, tetapi hampir kebanyakan penyebutan dirinya tidak pernah menyebutkan pangkat kemiliterannya, cukup Daan Mogot, tidak seperti nama-nama jalan lainnya yang berasal dari militer, hampir selalu disebutkan lengkap dengan jabatan kemiliterannya. Dengan begitu Daan Mogot menampakkan diri sebagai pemuda rakyat pejuang yang terseret derasnya arus perjuangan revolusi kemerdekaan saat itu. Terlebih Daan Mogot masih berusia 17 tahun saat menumpahkan darahnya demi Republik dan menjabat sebagai Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang; tentu seorang pemuda yang berani dan cerdas.
Elias Daniel Mogot adalah nama lengkapnya; dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara, di bawah matahari Hinda Belanda, 28 Desember 1928 dan meninggal dalam pelukan Republik Indonesia, 17 tahun kemudian. Daan Mogot sebelumnya adalah mantan anggota dan pelatih PETA di Bali dan Jakarta. Di masa perjuangan kemerdekaan, menjadi komandan Tentara Keamanan Rakyat, TKR di Jakarta dengan pangkat Mayor. Pada bulan November 1945 mendirikan sekaligus menjadi Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang.
Menyusuri Jalan Daan Mogot dari Jakarta, sebelum memasuki Kota Tangerang, setelah melewati Tanah Tinggi di sebelah kiri Jalan Daan Mogot dan Jl TMP Taruna, Anda bisa singgah sebentar di Taman Makam Pahlawan Taruna Tangerang, tepat di sebelah barat Lapas Anak Pria, keramaian kota tiba-tiba berganti dengan kesunyian dan ketenangan. Di situlah, Pahlawan kita: Daan Mogot beserta kawan-kawan yang terbunuh dalam peristiwa Lengkong, 25 Januari 1946, dimakamkan.
Sebuah Monumen didirikan untuk menghormati pahlawan-pahlawan kita itu dengan bertorehkan kata-kata dalam huruf besar, yang menunjukkan kerelaan dan keberanian barisan pelopor demi kemerdekaan bangsanya dan demi kebaikan generasi mendatang:
Kami Bukan Pembangun Candi
Kami Hanya Pengangkut Batu
Kamilah Angkatan Yang Mesti Musnah
Agar Menjelma Angkatan Baru
Di Atas Pusara Kami, Lebih Sempurna.
Kami Hanya Pengangkut Batu
Kamilah Angkatan Yang Mesti Musnah
Agar Menjelma Angkatan Baru
Di Atas Pusara Kami, Lebih Sempurna.
kata-kata di bawahnya menerangkan bagaimana kata-kata tersebut diperoleh dan dengan begitu seakan menjelaskan kelayakan kata-kata di atas untuk ditorehkan di tugu kenangan para pahlawan kita itu:
Tulisan ini cermin ketulusan dalam masa perjuangan
Ditemukan di saku salah seorang perwira saat gugur
Bersama adik-adiknya siswa akademi militer tangerang
Dalam tugas misi damai menerima penyerahan senjata dari
Tentara jepang di lengkong di mana tanpa diduga tugas
Damai tersebut berubah menjadi pertempuran yang tidak
Seimbang, sehingga membawa banyak korban
Ditemukan di saku salah seorang perwira saat gugur
Bersama adik-adiknya siswa akademi militer tangerang
Dalam tugas misi damai menerima penyerahan senjata dari
Tentara jepang di lengkong di mana tanpa diduga tugas
Damai tersebut berubah menjadi pertempuran yang tidak
Seimbang, sehingga membawa banyak korban
Walau dikesankan anonim, kita tahu kata-kata yang ditorehkan di Tugu Peringatan Daan Mogot dan kawan-kawan itu adalah bait puisi dari penyair perempuan Belanda, Henriette Roland Holst (1869-1952) yang memang karya-karya puisinya telah banyak memberanikan para pejuang kita dalam melawan penjajahan sebagaimana juga dijadikan epitaf di nisan Ali Archam, pejuang komunis yang meninggal dalam pembuangan di Tanah Tinggi, Boven Digul, Papua 2 Juli 1933 dalam umur 32 tahun:
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang neneruskan
Kerja agung jauh hidupmu
Kami tancapkan kata mulia
Hidup penuh harapan
Suluh dinyalakan dalam malammu
Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang neneruskan
Kerja agung jauh hidupmu
Kami tancapkan kata mulia
Hidup penuh harapan
Suluh dinyalakan dalam malammu
Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan
AJ Susmana, pegiat Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker)
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/puisi-untuk-daan-mogot/#ixzz481mLOtxd
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Kamis, 05 Mei 2016
17 TAHUN PRD: SUMBANGSIH PEMIKIRAN UNTUK INDONESIA
Buku "Sumbangsih Pemikiran untuk Indonesia" yang diterbitkan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik - KPP PRD tahun 2013 ini dimaksudkan sebagai sumbangan gagasan jalan keluar bagi Republik Indonesia. Gagasannya merentang dari awal pendirian Partai sampai 17 tahun kemudian; dikumpulkan dari berbagai artikel yang ditulis aktivis PRD dari berbagai media seperti Kompas meliputi isu politik, ekonomi dan sosial budaya. Buku ini bisa dianggap sebagai pergulatan pemikiran PRD untuk Indonesia hingga sekarang ketika PRD mengambil slogan: Pancasila Dasarnya, Trisakti Jalannya, Republik Indonesia keempat: Masyarakat adil dan makmur tujuannya; PRD partainya.
harga: Rp 70.000,
pesan: sms/wa 082124614776
Jumat, 25 Maret 2016
Tugu Kebangkitan
untuk J
Kamu sudah
melewati jalan ini
Jika pun tanpa
tugu kenangan
Jejakmu selalu ada
Di antara para
petani yang kamu lewati
Yang kini masih berjuang
untuk tanah!
Kehidupan bukan
mati
Bagi sesama
Aku ingat kamu
Bagaimana jalanan
mengejek langkahmu
Terseok-seok di
antara sesama derita
Menuju tugu yang
tak kau kehendaki
Dan
perempuan-perempuan yang menangisi nasibmu
Hingga katamu:
"Janganlah
kamu menangisi aku
melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!
Sebab
lihat, akan tiba masanya orang berkata:
berbahagialah perempuan mandul
berbahagialah perempuan yang rahimnya tidak pernah melahirkan,
dan yang tidak
pernah menyusui."
Tetapi tugu yang kamu bangun di hati para petani
Menjadi litani tiada henti:
Air mata yang
jatuh ini selalu berjanji:
Berganti kemakmuran
Amin.
Pedan di Minggu Palma, 20 Maret 2016
Minggu, 28 Februari 2016
RIBKA TJIPTANING PROLETARIYATI: Menyusuri Jalan Perubahan, AJ Susmana dan Kelik Ismunanto, penyunting
Ribka Tjiptaning Proletariyati: Menyusuri Jalan Perubahan, penyunting AJ Susmana dan Kelik Ismunanto, 2012,
Harga Rp 45.000,
pesan sms/wa 081286959527
Buku Tentang Kisah Hidup Dan Perjuangan Ribka Tjiptaning Diluncurkan
Di tengah jaman yang nihil “politisi pejuang”, akhirnya muncul juga sosok Ribka Tjiptaning Proletariyati. Ia dijuluki “Banteng Perempuan” oleh politisi senior PDI Perjuangan, Soetardjo Soerjogoeritno.
Mbak Ning—sapaan akrab Tjiptaning—punya andil besar dalam perjuangan menggulingkan rezim Soeharto. Akibatnya, ia pun berkali-kali menjadi penghuni jeruji rezim orde baru. Satu peristiwa yang tak terlupakan: saat ia ditahan di Mapolda Metro Jaya bersama bayinya yang baru berumur beberapa hari.
Sejarahwan LIPI, Asvi Warman Adam, menyebut kasus itu mirip dengan apa yang dialami oleh tokoh pejuang perempuan terkenal, SK Trimurti. “Ketika ditahan di Polda ia membawa bayinya untuk disusui. Sebelumnya, ia juga pernah ditangkap dalam keadaan hamil,” kata Asvi.
Itulah seuntai kisah perjuangan Mbak Ning yang dirajut menjadi sebuah buku berjudul “Menyusuri Jalan Perubahan”. Buku ini disusun berdasarkan wawancara dua orang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), AJ Susmana dan Kelik Ismunanto, dengan Mbak Ning di sebuah Rumah Makan di Tebet, Jakarta Selatan.
Buku ini pula yang diluncurkan pada Kamis (26/7/2012) sore di bekas kantor DPP PDI Perjuangan, di jalan Diponegoro No 58, Jakarta Pusat. Ratusan orang hadir dalam acara peluncuran dan bedah buku tersebut.
Mbak Ning, yang saat ini menjabat sebagai anggota Komisi IX DPR RI , memberi sambutan mengenai buku baru tentang dirinya ini. Katanya, kisah perjalanan hidupnya jauh lebih berat dari kisah dalam film “Laskar Pelangi”. Untuk diketahui, sebagian kisah hidupnya itu sudah dipahatkan di buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”.
Acara peluncuran buku ini diorganisir oleh aktivis SDI (Srikandi Demokrasi Indonesia). Sejumlah tokoh tampil sebagai pembedah buku ini, yaitu Asvi Warman Adam, Ikrar Nusa Bhakti, Ratna Sarumpaet, dan Zuhairi Misrawi.
Asvi banyak menyoroti soal peristiwa 27 Juli 1996. Maklum, sehari lagi peringatan peristiwa 27 Juli 1996 ke-16. Asvi membeberkan, fakta menunjukkan bahwa aparat keamanan berperan dalam penyerbuan kantor DPP PDI saat itu.
Sedangkan Ikrar Nusa Bhakti, menyoroti soal tidak relevannya tudingan-tudingan PKI sebagai atheis. Sebab, kata dia, tidak sedikit orang PKI yang juga beragama. Ia mencontohkan keberadaan PKI di Sumatera Barat.
Sedangkan Zuhairi Misrawi, yang juga pemikir muda Nahdlatul Ulama, menyebut Tjiptaning sebagai “Islam Kiri”. Pelabelan tersebut, kata Zuhairi, dikarenakan Tjiptaning merupakan seorang muslim yang berpihak pada rakyat.
Zuhairi juga menegaskan arti penting untuk memberi ruang bagi tumbuhnya berbagai ideologi dan aliran politik di Indonesia, termasuk komunisme. Baginya, komunisme juga punya pemikiran yang patut dihargai.
Sementara Ratna Sarumpaet lebih banyak menyoroti suasana Pilkada DKI dan berbagai persoalan bangsa. Ia berbicara tentang pentingnya mendorong agenda perubahan di negeri ini.
Buku “Menyusuri Jalan Perubahan” berisi 293 halaman. Selain merekam jejak hidup dan perjuangan Ribka Tjiptaning, buku ini juga mengulas berbagai persoalan bangsa saat ini. Salah satunya adalah soal praktek neokolonialisme saat ini.
Selain dihadiri oleh anggota PDI Perjuangan dan sahabat-sahabat Tjiptaning, acara peluncuran buku ini juga dihadiri oleh sejumlah warga tuna-rungu yang setia mendukung Jokowi-Ahok dalam pilkada DKI Jakarta.
Ulfa Ilyas
http://www.berdikarionline.com/peluncuran-buku-tjiptaning/
MENGOBARKAN KEMBALI PERANG KEMERDEKAAN, AJ Susmana, kumpulan esai
Mengobarkan Kembali Perang Kemerdekaan, kumpulan esai, 2009,
harga Rp 30.000
pesan sms/wa 081286959527
harga Rp 30.000
pesan sms/wa 081286959527
Mengobarkan Kembali Semangat Trisakti
OLEH: RETOR AW KALIGIS
Kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan, disebut Soekarno, hanya sebuah jembatan emas.
Usaha menegakkan kemandirian bangsa jauh lebih sulit karena tidak hanya berhadapan dengan kekuatan eksternal, tapi juga harus menghadapi unsur dalam negeri sendiri yang potensial melemahkannya.
AJ Susmana mengupas pengaruh dinamika eksternal dan konsolidasi internal bangsa terhadap kemandirian bangsa, mulai dari dominasi modal asing di tengah pembungkaman hak-hak rakyat di era Orde Baru, merajalelanya korupsi sejak Orde Baru hingga ”diaspora”-nya pada era reformasi, politik tanpa karakter di tengah menjamurnya partai-partai politik, tidak dibuatnya strategi membangun industri nasional yang kuat, penjualan aset-aset negara, masalah perlindungan konsumen, hingga pro-kontra ”Goyang Inul” dan UU Pornografi.
Buku ini merupakan kumpulan tulisannya dari 2004 sampai awal 2009, baik di media cetak seperti harian Kompas maupun media daring.
Sejak dekade terakhir Orde Baru, alumnus S1 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) ini banyak bergiat di gerakan pro demokrasi. Sekarang ia menjabat Wakil Sekretaris Jenderal DPP Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional), organisasi yang dituding membangkitkan komunisme oleh sebagian pihak.
Tapi buah pemikiran AJ Susmana sesungguhnya lebih mengobarkan semangat Soekarnoisme. Berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya yang dikonseptualisasi Bung Karno sebagai “Trisakti” terasa bergema dalam esai-esainya.
Penutupan Sosial
Persoalan kemandirian bangsa berkaitan erat dengan apa yang disebut Max Weber sebagai fenomena penutupan sosial, yakni proses yang dibentuk kolektivitas sosial untuk memaksimalkan ganjaran melalui pembatasan kesempatan kepada segelintir pihak saja. Pemonopolian kesempatan tertentu dilakukan dengan membatasi jalan untuk memperoleh sumber daya dan kesempatan kepada segelintir orang yang memenuhi syarat.
Di bidang ekonomi, Indonesia memiliki tanah air yang luas dan kaya, tapi lebih dinikmati pihak asing dan segelintir pihak. Negeri ini menjadi ladang eksploitasi sumber daya alam dan banyak memarginalkan masyarakat lokal. Industri yang berkembang lebih mempertimbangkan Indonesia sebagai penyedia tenaga kerja murah sebagai faktor penarik.
Transisi dari rezim otoriter ke demokrasi belum melakukan upaya terstruktur dan sistematis untuk memberdayakan rakyat. Bahkan, liberalisasi ekonomi disokong tanpa membangun politik-ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Desentralisasi cenderung memindahkan “pusat-pusat kekuasaan” baru berikut perilaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) ke daerah. Otonomi daerah melahirkan para pemimpin lokal yang memiliki kekuasaan seperti “raja-raja kecil” di daerah.
Dalam tulisan ”Berpolitik dengan Karakter”, AJ Susmana menyoroti peran partai politik yang dominan di era reformasi, tapi tidak memberikan kepemimpinan politik yang baik terhadap rakyat. Padahal, bagaimanapun rakyat bisa dewasa dalam berpolitik tentu membutuhkan teladan dan ajaran politik yang berkarakter dari partai-partai, termasuk para politisinya (hlm 58-61).
Pada masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik. Akibatnya, tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai. Konflik antarsuku dan agama lalu terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Hubungan antargolongan sering kali tidak berlangsung sinergis.
AJ Susmana menilai perbedaan pendapat, termasuk dalam peristiwa antibudaya seperti kontroversi “Goyang Inul”, pembakaran karya instalasi Perahu Doa Tisna Sanjaya, dan kasus Tempo versus Tommy Winata, seharusnya tak sekadar berhenti pada pelarangan, tetapi harus diletakkan pada kerangka tegaknya demokrasi sendiri agar demokrasi kian berkualitas dan dewasa. Pelarangan dengan motif korupsi kebenaran tanpa demokrasi seharusnya dihindari manusia yang berbudi dan berakal. Demokrasi mengarahkan ”pelarangan” menjadi kerja keras untuk memperjuangkan kebenaran ontologis, aksiologis, dan epistemologis (hlm 1-5).
Di bawah payung demokrasi inilah kita bisa menyingkirkan ego golongan demi menuntaskan persoalan-persoalan mendesak rakyat; bersatu, bergandengan tangan mempertegas makna kemerdekaan kita dan bila perlu mengobarkan kembali perang kemerdekaan. Setidaknya, kita menolak menjadi bangsa kuli sebagaimana mimpi-mimpi pejuang kemerdekaan kita jauh sebelum 1945 (hlm 102).
Penulis adalah Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Indonesia; Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara
07 Nov 2009, Sinar Harapan
Kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan, disebut Soekarno, hanya sebuah jembatan emas.
Usaha menegakkan kemandirian bangsa jauh lebih sulit karena tidak hanya berhadapan dengan kekuatan eksternal, tapi juga harus menghadapi unsur dalam negeri sendiri yang potensial melemahkannya.
AJ Susmana mengupas pengaruh dinamika eksternal dan konsolidasi internal bangsa terhadap kemandirian bangsa, mulai dari dominasi modal asing di tengah pembungkaman hak-hak rakyat di era Orde Baru, merajalelanya korupsi sejak Orde Baru hingga ”diaspora”-nya pada era reformasi, politik tanpa karakter di tengah menjamurnya partai-partai politik, tidak dibuatnya strategi membangun industri nasional yang kuat, penjualan aset-aset negara, masalah perlindungan konsumen, hingga pro-kontra ”Goyang Inul” dan UU Pornografi.
Buku ini merupakan kumpulan tulisannya dari 2004 sampai awal 2009, baik di media cetak seperti harian Kompas maupun media daring.
Sejak dekade terakhir Orde Baru, alumnus S1 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) ini banyak bergiat di gerakan pro demokrasi. Sekarang ia menjabat Wakil Sekretaris Jenderal DPP Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional), organisasi yang dituding membangkitkan komunisme oleh sebagian pihak.
Tapi buah pemikiran AJ Susmana sesungguhnya lebih mengobarkan semangat Soekarnoisme. Berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya yang dikonseptualisasi Bung Karno sebagai “Trisakti” terasa bergema dalam esai-esainya.
Penutupan Sosial
Persoalan kemandirian bangsa berkaitan erat dengan apa yang disebut Max Weber sebagai fenomena penutupan sosial, yakni proses yang dibentuk kolektivitas sosial untuk memaksimalkan ganjaran melalui pembatasan kesempatan kepada segelintir pihak saja. Pemonopolian kesempatan tertentu dilakukan dengan membatasi jalan untuk memperoleh sumber daya dan kesempatan kepada segelintir orang yang memenuhi syarat.
Di bidang ekonomi, Indonesia memiliki tanah air yang luas dan kaya, tapi lebih dinikmati pihak asing dan segelintir pihak. Negeri ini menjadi ladang eksploitasi sumber daya alam dan banyak memarginalkan masyarakat lokal. Industri yang berkembang lebih mempertimbangkan Indonesia sebagai penyedia tenaga kerja murah sebagai faktor penarik.
Transisi dari rezim otoriter ke demokrasi belum melakukan upaya terstruktur dan sistematis untuk memberdayakan rakyat. Bahkan, liberalisasi ekonomi disokong tanpa membangun politik-ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Desentralisasi cenderung memindahkan “pusat-pusat kekuasaan” baru berikut perilaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) ke daerah. Otonomi daerah melahirkan para pemimpin lokal yang memiliki kekuasaan seperti “raja-raja kecil” di daerah.
Dalam tulisan ”Berpolitik dengan Karakter”, AJ Susmana menyoroti peran partai politik yang dominan di era reformasi, tapi tidak memberikan kepemimpinan politik yang baik terhadap rakyat. Padahal, bagaimanapun rakyat bisa dewasa dalam berpolitik tentu membutuhkan teladan dan ajaran politik yang berkarakter dari partai-partai, termasuk para politisinya (hlm 58-61).
Pada masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik. Akibatnya, tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai. Konflik antarsuku dan agama lalu terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Hubungan antargolongan sering kali tidak berlangsung sinergis.
AJ Susmana menilai perbedaan pendapat, termasuk dalam peristiwa antibudaya seperti kontroversi “Goyang Inul”, pembakaran karya instalasi Perahu Doa Tisna Sanjaya, dan kasus Tempo versus Tommy Winata, seharusnya tak sekadar berhenti pada pelarangan, tetapi harus diletakkan pada kerangka tegaknya demokrasi sendiri agar demokrasi kian berkualitas dan dewasa. Pelarangan dengan motif korupsi kebenaran tanpa demokrasi seharusnya dihindari manusia yang berbudi dan berakal. Demokrasi mengarahkan ”pelarangan” menjadi kerja keras untuk memperjuangkan kebenaran ontologis, aksiologis, dan epistemologis (hlm 1-5).
Di bawah payung demokrasi inilah kita bisa menyingkirkan ego golongan demi menuntaskan persoalan-persoalan mendesak rakyat; bersatu, bergandengan tangan mempertegas makna kemerdekaan kita dan bila perlu mengobarkan kembali perang kemerdekaan. Setidaknya, kita menolak menjadi bangsa kuli sebagaimana mimpi-mimpi pejuang kemerdekaan kita jauh sebelum 1945 (hlm 102).
Penulis adalah Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Indonesia; Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara
07 Nov 2009, Sinar Harapan
Kamis, 25 Februari 2016
Minggu, 21 Februari 2016
Kamis, 18 Februari 2016
NEGERIKU, syair-syair perjuangan Agus Jabo
Syairnya datang dari kepedihan, rasa perih dan keprihatinan yang mendalam pada kahanan negeri. Ia tak bermuluk-muluk sebagaimana para penyair yang bertungkus lumus memilih kata. Kejujuran dan kepolosan tampak menjadi apinya. Mengubah keadaan yang menyedihkan menjadi membahagiakan adalah tujuannya. Ia percaya negerinya bisa menjadi surga di bumi. Semangat perjuangan pun seakan menyatu dengan Rukmanda Klara Akustia dalam Rangsang Detik:
"sebutkan segala penjara dan itu adalah aku
sebutkan segala badai kepahitan pembuangan
kerinduan pada kecapi
kesunyian malam sepi
kenangan pada Priangan dan kelayuan dari menanti.
aku yang telah menghitung rangkaian detik berpuluh tahun
aku serahkan segala pada pesta perlawanan
selama ini jiwa remaja setiap detak nafas nyawaku
dan kala ini juga diminta
aku nyanyikan “Bangunlah Kaum Terhina”.
aku kini tiada lagi bersatu dengan bumi tanah air tercinta
tapi lagu aku tamatkan bersama bintang seminar kelam
dengan debar jantung terakhir yang melihat fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku.
sebutkan segala penjara dan itu adalah aku
tapi sebutkan juga kesetiaan kegairahan dan kepahlawanan itulah aku"
Ia pun bersyair:
"...pergerakan ini telah memberikan aku banyak pelajaran serta kenangan... beban tanggung jawab yang sangat berat selalu aku jalankan tanpa senandung maupun nyanyian demi baktiku buat tanah air serta kemanusiaan"
Dari lubuk yang dalam, Anda bisa mendengar bagaimana hatinya bernyanyi:
"Ibu-ibu bercaping bambu
berbaris melangkah maju
menyusuri jalan-jalan metropolitan ....
Hati teriris
Mulut meringis
Menahan tangis
Sesak gemuruh ...
Terpendam di dalam dada
Ibu-ibu melangkah maju
Layu seperti ilalang Musim kemarau
Dihempas bayu
Beri kami kepastian hidup
agar kami tak jadi
ranting kering di ladang sendiri"
Cinta dan perjuangan untuk kebaikan Negeri tak hanya mewujud pada aksi dan orasi tapi juga puisi, yang terkumpul dalam Negeriku, syair-syair perjuangan Agus Jabo, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat - JAKER 2009
Negeriku, syair-syair perjuangan Agus Jabo, 2010,
harga Rp 28.000,
pesan sms/wa 081286959527
Rabu, 17 Februari 2016
SOLITUDE, Putu Oka Sukanta, kumpulan puisi dan cerpen
SOLITUDE, Putu Oka Sukanta, kumpulan puisi dan cerpen, 2015
harga Rp 50.000,
pesan sms/wa 081286959527
harga Rp 50.000,
pesan sms/wa 081286959527
KAWAN dan BERLAWAN, Dominggus Oktavianus, kumpulan puisi
Seringkali orang bisa akrab dengan kata-kata karena dipaksa hati yang sedang jatuh cinta. Lalu menuliskan perasaan cinta itu secara puitis. Inilah yang barangkali oleh para filsuf disebut pengalaman estetik: menikmati diserang keindahan.
Tentu saja ini manusiawi. Hanya manusia yang bisa mengalami perasaan estetis dan mengungkapkan dalam berbagai bentuk bahkan bentuk-bentuk puisi. Burung Manyar boleh saja membuat sarang yang indah tapi keindahan bentuk yang tampak statis. Tetapi manusia tidak puas dengan keindahan yang sudah ada. Ia selalu mencari keindahan baru atau menciptakan perspektif yang baru.
Bagi Chernyshevsky, keindahan haruslah berdasar pada kemanusiaan: keindahan adalah kehidupan. Pengalaman atas rasa keindahan itu sebisa mungkin mendorong manusia menjadi lebih manusiawi sehingga mencintai kehidupan. Dalam mencintai kehidupan itulah, muncul keberpihakan terhadap orang-orang tergusur dan tertindas dan menjadikan seni termasuk puisi sebagai bagian dari gerakan pembebasan rakyat menuju kehidupan manusia yang semakin indah.
Membaca puisi-puisi Dominggus Oktavianus, bukan saja kita dibawa pada perasaan estetis tapi juga dorongan kuat untuk membela rakyat tertindas. Kita harus mengubah realitas yang tidak indah: Kelaparan di Yahukimo; busung lapar yang masih banyak dialami anak-anak di negeri yang terkenal indah dan kaya; gempa di Sumatera Barat; suara rakyat miskin yang dijual dalam pemilu; perjuangan rakyat Palestina; ketertindasan buruh pabrik; kesengsaraan petani dusun Suluk Bongkal, Riau..menjadi indah dalam arti sebenarnya yaitu kehidupan.
Membaca puisi Dominggus Oktavianus bagaikan berlitani bersama rahib-rahib yang marah atas ketidakadilan yang berlangsung..
"Salam damai
Bagi yang terbang dari dusun lembah dan rumah rimba
yang terusir dari tanah tempat akarmu tumbuh
sebelum jadi debu
yang terusir dari tanah tempat akarmu tumbuh
sebelum jadi debu
Dengar kabar, di sini akan lahir keadilan
Salam damai
Bagi gubuk-gubuk yang terpanggang dan tergusur
Bagi tangis bayi yang terurai abadi dalam air dan api
Bagi Bunda yang berjuang dan berserah diri
Bagi tangis bayi yang terurai abadi dalam air dan api
Bagi Bunda yang berjuang dan berserah diri
Salam damai
Bagi wajah yang hitam melebam tertinju waktu
Kerut halus yang melukis rasa perih
Bagi mata merana yang ditangguh tatap terus berlawan
Kerut halus yang melukis rasa perih
Bagi mata merana yang ditangguh tatap terus berlawan
Salam damai
Bagi padi yang menguning di ladang terkepung
Mesti terpetik agar hidup bebas berdenting
Mesti terpetik agar hidup bebas berdenting
Salam damai
Sampai bertabur terang dan garam di muka bumi
......
Untuk memperjuangkan keindahan dalam kehidupan itu Dominggus Oktavianus seperti berseru dalam kumpulan puisi Kawan dan Berlawan, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat- JAKER, 2010
Kawan dan Berlawan, kumpulan puisi, Dominggus Oktavianus, 2010,
Harga Rp 30.000,
pesan sms/wa 082124614776
Minggu, 14 Februari 2016
BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR, Dewi Nova, kumpulan puisi
Ia menentang penindasan segala hal; di setiap penjuru perjalanan yang ditempuh; di setiap kepakan sayapnya sejauh bisa. Ia selalu ingin mencapai lebih; sampai pada batas terakhir. Kata-kata penghabisannya sering begitu sadis:
"Lelaki yang selalu mengenakan jubah ketakutan dan menikmati rantai-rantai yang mengikat kaki ibunya"
atau yang seperti ini:
"Bhineka Tunggal Ika sekarat dipenggal anak kandungnya"
Penindasan di segala hal dan di setiap telah menggerakkan tangannya untuk terus menulis. Kata-kata tak lagi sekedar merayu tetapi juga menggugat:
"Setelah jiwaku pulih, akan kutuntut calo dan majikan!"
Ia tak bisa bersabar pada ketidak-adilan dan tak segan berlawan dengan keras:
"Kau ambil parang kami, kurampas senjata kalian!"
Walau begitu, Ia tak harus selalu berlawan:
"Sarapan pagi ini:
Seiris roti yang tak siap dengan perbedaan
Secangkir kopi pahit kekerasan
Aku mencari teman duduk"
***
Tak sengaja aku bertemu dengannya tahun 2003 ketika sedang bersemangat membangun Partai di Kota Bougenville. Ia berkisah sedikit tentang dirinya yang didewasakan oleh pergerakan di kota pergerakan sejak dahulu: Semarang.
Lalu bersepakat untuk membukukan Kemarahan, kerinduan, dendam, benci, cinta dan asa di setiap perjalanan yang telah ditempuh dalam Burung-Burung Bersayap Air, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat - JAKER, 2010.
Burung-Burung Bersayap Air, kumpulan puisi, Dewi Nova, 2010,
Harga Rp 30.000
pesan sms/wa 082124614776
Sabtu, 13 Februari 2016
Jumat, 12 Februari 2016
BURUAN, Putu Oka Sukanta, novel
Buruan, novel, Putu Oka Sukanta, terbit 2009, harga Rp 35.000,
pesan sms/wa 081286959527
https://www.goodreads.com/review/show/88156032
pesan sms/wa 081286959527
https://www.goodreads.com/review/show/88156032
Minggu, 07 Februari 2016
ABAD DEMOKRASI TERPIMPIN, Koesalah Soebagyo Toer, kronik
Kronik
ABAD DEMOKRASI TERPIMPIN
penyusun: Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit : JAKER, 2016
Harga Softcover: Rp 200.000,
Harga Hardcover Rp 250.000,
pesan sms/wa: 081286959527
http://www.berdikarionline.com/buku-kronik-era-demokrasi-terpimpin-sudah-terbit/
ABAD DEMOKRASI TERPIMPIN
penyusun: Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit : JAKER, 2016
Harga Softcover: Rp 200.000,
Harga Hardcover Rp 250.000,
pesan sms/wa: 081286959527
http://www.berdikarionline.com/buku-kronik-era-demokrasi-terpimpin-sudah-terbit/
MATA GELAP, Mas Marco Kartodikromo, novel
Mata Gelap, sebuah Novel yang terbit pertama tahun 1914, diterbitkan kembali oleh JAKER setelah seabad, disunting oleh Koesalah Soebagyo Toer,
Harga Rp 50.000,
Pemesanan: sms/wa 081286959527
http://www.berdikarionline.com/koesalah-soebagyo-toer-karya-tulis-harus-dianggap-sebagai-prestasi-dan-dihargai/
Harga Rp 50.000,
Pemesanan: sms/wa 081286959527
http://www.berdikarionline.com/koesalah-soebagyo-toer-karya-tulis-harus-dianggap-sebagai-prestasi-dan-dihargai/
Senin, 18 Januari 2016
Rumah Tua
Rumah tua di
kotaku
yang dahulu kokoh
di masa kanakku
kulihat semakin renta
terbungkuk karena
jaman
tak berdaya
menunggu kebangkitan
atau tenggelam dalam
sejarah
yang tak membela
Dikenang dalam
cerita
yang tak ingin
diceritakan
kecuali karena cinta
di sana aku
dilahirkan
dibesarkan hanya
untuk pergi
ketika kembali tak berdaya
bahkan
hanya untuk mempercantik pagar
di tepian jalan
Sementara rumah muda
terus mendesak
dengan gairah warna yang ceria, anggun,
merangsang meminta
segala sesuatu datang
sambil berkata: "Masa depan
milikku!"
Rumah tua dari
kemakmuran lalu
menunggu hari-hari
terakhir
Rumah muda
kemakmuran kini
belum tahu kapan
sampai akhir!
Pedan, 18 Januari
2016
Langganan:
Postingan (Atom)