Bisnis Indonesia, Jumat, 09-APR-2010
Berkecimpung di dunia kesenian memang belum membuat AJ Susmana bergelimang harta. Namun, seni telah membawa anak Klaten ini menyambangi negeri tetangga. Seni pula yang menyelamatkan hidupnya dari kejaran aparat negara pascaperistiwa 27 Juli 1996 (Kudeta Dua Tujuh Juli/Kudatuli).
Mono, panggilan akrab AJ Susmana, pada 1994 bertolak ke Australia mewakili Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) mengikuti Indian Ocean Trade Union Conference Cultural Network di Perth.
Di sela-sela pertemuan itu, laki-laki kelahiran Klaten, 20 November 1971 ini menggelar aksi teatrikal semi monolog. "Meski spontan tanpa latihan, aksi itu mendapat apresiasi ratusan hadirin perwakilan lebih dari 20 negara," katanya.
Cukup sederhana, dia menyusun beberapa buah meja bertingkat-tingkat di panggung. Masing-masing tingkat ditempeli kertas besar bertuliskan feodalisme, kapitalisme, imperealisme. Lalu, dia memukul-mukul piring dengan sendok sambil berteriak hungry!. Iramanya naik turun. Pelan, lalu lama-lama kencang.
Tanpa diperintah, penonton ikut memukul benda di sekitarnya sembari berteriak hungry. Saat seisi gedung bergemuruh, Mono meronta-ronta meruntuhkan meja yang tadi tersusun. Meja itu ambruk dan Mono mengepalkan tinju. Di badannya tergantung kertas bertuliskan sosialisme.
Tahun itu, Jaker diketuai oleh Wiji Tukul, penyair asal Solo yang hingga kini belum diketahui di mana rimbanya. Mono sendiri menjabat sebagai sekjen. "Itulah pertama kali saya ke luar negeri. Sebenarnya tak habis pikir, anak kampung kok bisa keluar negeri," ujarnya seraya melempar senyum.
Dua tahun berikutnya, begitu peristiwa 27 Juli 1996 meletus, rezim Orde Baru menyatakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organ sekawannya, termasuk Jaker sebagai organisasi terlarang. Para aktivisnya diburu, termasuk Mono.
Saat saya temui beberapa hari lalu di markas Sanggar Satu Bumi yang dikelolanya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, pria berambut ikal ini mengaku sewaktu menjadi buruan aparat negara pasca-Kudatuli dirinya tertolong oleh ilmu seni yang dimiliki.
"Waktu itu saya kabur ke Bogor, tanpa tahu ke mana dan siapa yang akan dituju. Tapi saya terus berjalan hingga sampailah di kampus Universitas Juanda," paparnya mengenang masa lampau. Kini sorot matanya yang tajam berubah sembab.
Dalam hati dia bergumam "Sepertinya kampus ini cukup aman untuk bersembunyi." Mono pun berkenalan dengan beberapa mahasiswa. Alhasil, tidak butuh waktu lama baginya sehingga mampu mendorong mahasiswa mendirikan kelompok teater.
Komunitas itu kemudian menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Lentera di Universitas Juanda. Mono orang pertama yang mengajar teater di sana. "Istilahnya sambil menyelam minum air. Sambil bersembunyi, mengasah ilmu dan bertahan hidup," kenangnya.
Hingga hari ini, teater Lentera tetap menyala di Bogor. Hingga hari ini pula, tulisan, mantan ketua Forum Seni Budaya Retorika Filsafat Universitas Gadjah Mada ini bertebaran di kolom seni budaya surat kabar lokal maupun nasional.
Sejumlah buku sastra telah lahir dari tangan dinginnya a.l kumpulan puisi Kota Ini Ada Di Tubuhmu (November 2008), kumpulan cerita pendek Perempuan Tangguh (April 2009), esai-esai untuk kemandirian bangsa Mengobarkan Kembali Perang Kemerdekaan (Juni 2009).
Penggubah lagu
Produktivitasnya di dunia seni tak hanya sebatas menulis dan berteater. Mono juga terampil menggubah puisi menjadi lagu. Lagu gubahannya sering disenandungkan kalangan aktivis parlemen jalanan hingga pengamen jalanan.
Puisi fenomenal yang digubahnya, seperti Peringatan dan Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Tukul, Benar karya Andi Munajat, Barisan Ibu karya Agus Jabo dalam antologi puisi Negeriku, Tuhan Turunlah Ke Sini karya Yanti Irawan, dalam antologi puisi Ibu, Maaf Aku Nakal.
Menurut dia, nyanyian adalah bagian tidak terpisahkan dari manusia. "Manusia mana yang tidak suka musik? Terlepas dari perbedaan genrenya, itu soal selera. Puisi yang saya gubah menjadi lagu, hanya puisi yang menurut saya punya kekuatan membangkitkan semangat pembebasan kaum tertindas."
Kini, AJ Susmana tetap berkarya dalam kesederhanaannya. Bersama kawan-kawan di Sanggar Satu Bumi, dia bersiap mendirikan Akademi Kebudayaan Wiji Tukul dan sebuah pementasan teater akbar dengan melibatkan sejumlah selebritas. (redaksi@bisnis.co.id)
Oleh Wenri Wanhar
Kontributor Bisnis Indonesia
http://www.bisnis.com/servlet/page?_p...
Berkecimpung di dunia kesenian memang belum membuat AJ Susmana bergelimang harta. Namun, seni telah membawa anak Klaten ini menyambangi negeri tetangga. Seni pula yang menyelamatkan hidupnya dari kejaran aparat negara pascaperistiwa 27 Juli 1996 (Kudeta Dua Tujuh Juli/Kudatuli).
Mono, panggilan akrab AJ Susmana, pada 1994 bertolak ke Australia mewakili Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) mengikuti Indian Ocean Trade Union Conference Cultural Network di Perth.
Di sela-sela pertemuan itu, laki-laki kelahiran Klaten, 20 November 1971 ini menggelar aksi teatrikal semi monolog. "Meski spontan tanpa latihan, aksi itu mendapat apresiasi ratusan hadirin perwakilan lebih dari 20 negara," katanya.
Cukup sederhana, dia menyusun beberapa buah meja bertingkat-tingkat di panggung. Masing-masing tingkat ditempeli kertas besar bertuliskan feodalisme, kapitalisme, imperealisme. Lalu, dia memukul-mukul piring dengan sendok sambil berteriak hungry!. Iramanya naik turun. Pelan, lalu lama-lama kencang.
Tanpa diperintah, penonton ikut memukul benda di sekitarnya sembari berteriak hungry. Saat seisi gedung bergemuruh, Mono meronta-ronta meruntuhkan meja yang tadi tersusun. Meja itu ambruk dan Mono mengepalkan tinju. Di badannya tergantung kertas bertuliskan sosialisme.
Tahun itu, Jaker diketuai oleh Wiji Tukul, penyair asal Solo yang hingga kini belum diketahui di mana rimbanya. Mono sendiri menjabat sebagai sekjen. "Itulah pertama kali saya ke luar negeri. Sebenarnya tak habis pikir, anak kampung kok bisa keluar negeri," ujarnya seraya melempar senyum.
Dua tahun berikutnya, begitu peristiwa 27 Juli 1996 meletus, rezim Orde Baru menyatakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organ sekawannya, termasuk Jaker sebagai organisasi terlarang. Para aktivisnya diburu, termasuk Mono.
Saat saya temui beberapa hari lalu di markas Sanggar Satu Bumi yang dikelolanya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, pria berambut ikal ini mengaku sewaktu menjadi buruan aparat negara pasca-Kudatuli dirinya tertolong oleh ilmu seni yang dimiliki.
"Waktu itu saya kabur ke Bogor, tanpa tahu ke mana dan siapa yang akan dituju. Tapi saya terus berjalan hingga sampailah di kampus Universitas Juanda," paparnya mengenang masa lampau. Kini sorot matanya yang tajam berubah sembab.
Dalam hati dia bergumam "Sepertinya kampus ini cukup aman untuk bersembunyi." Mono pun berkenalan dengan beberapa mahasiswa. Alhasil, tidak butuh waktu lama baginya sehingga mampu mendorong mahasiswa mendirikan kelompok teater.
Komunitas itu kemudian menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Lentera di Universitas Juanda. Mono orang pertama yang mengajar teater di sana. "Istilahnya sambil menyelam minum air. Sambil bersembunyi, mengasah ilmu dan bertahan hidup," kenangnya.
Hingga hari ini, teater Lentera tetap menyala di Bogor. Hingga hari ini pula, tulisan, mantan ketua Forum Seni Budaya Retorika Filsafat Universitas Gadjah Mada ini bertebaran di kolom seni budaya surat kabar lokal maupun nasional.
Sejumlah buku sastra telah lahir dari tangan dinginnya a.l kumpulan puisi Kota Ini Ada Di Tubuhmu (November 2008), kumpulan cerita pendek Perempuan Tangguh (April 2009), esai-esai untuk kemandirian bangsa Mengobarkan Kembali Perang Kemerdekaan (Juni 2009).
Penggubah lagu
Produktivitasnya di dunia seni tak hanya sebatas menulis dan berteater. Mono juga terampil menggubah puisi menjadi lagu. Lagu gubahannya sering disenandungkan kalangan aktivis parlemen jalanan hingga pengamen jalanan.
Puisi fenomenal yang digubahnya, seperti Peringatan dan Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Tukul, Benar karya Andi Munajat, Barisan Ibu karya Agus Jabo dalam antologi puisi Negeriku, Tuhan Turunlah Ke Sini karya Yanti Irawan, dalam antologi puisi Ibu, Maaf Aku Nakal.
Menurut dia, nyanyian adalah bagian tidak terpisahkan dari manusia. "Manusia mana yang tidak suka musik? Terlepas dari perbedaan genrenya, itu soal selera. Puisi yang saya gubah menjadi lagu, hanya puisi yang menurut saya punya kekuatan membangkitkan semangat pembebasan kaum tertindas."
Kini, AJ Susmana tetap berkarya dalam kesederhanaannya. Bersama kawan-kawan di Sanggar Satu Bumi, dia bersiap mendirikan Akademi Kebudayaan Wiji Tukul dan sebuah pementasan teater akbar dengan melibatkan sejumlah selebritas. (redaksi@bisnis.co.id)
Oleh Wenri Wanhar
Kontributor Bisnis Indonesia
http://www.bisnis.com/servlet/page?_p...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar