Rabu, 14 Maret 2007

Lari


Kami berlari
dari kejaran dan perburuan
Wajah-wajah seram seperti hadir
di kepala kami
“Hantu?”
“ Oh, bukan. Bukan. Itu hanyalah bayangan”
Daun-daun gemerisik membisikkan pesan para petani
Dongengan nenek moyang dan danyang-danyang desa
Bulan kusut masai di antara tarian awan-awan hitam
Perempuan dari Dusun Girah itupun membayang
Menari, mengaum seperti singa betina takut kehilangan anaknya
matanya memerah memanggil roh-roh jahat
Petaka rakyat
Rambut durga pun diterpa angin
Membadai tak terhalang berdiri di ketinggian
Menunjuk dan menertawakan dewa-dewa Airlangga
Guyang langsung menari
lengan terentang
sesekali bertepuk tangan tenang
duduk di atas tanah
berputar-putar
matanya melotot
memutar kepala kiri-kanan.
Larung pun menari
seperti harimau yang akan meloncat
matanya merah
telanjang
rambutnya terjurai lepas di depan wajahnya.
Gandi menari meloncat-loncat;
rambutnya tergantung lepas ke samping.
Matanya pun merah-bundar seperti sebuah ganitri.
Lende menari di atas ujung-ujung jarinya
membuat loncatan-loncatan pendek,
Matanya membara seperti api yang akan menyala.
Rambutnya tergantung lepas.
Wokcirsa menari
membongkok ke depan,
memandang ke belakang,
matanya terbuka lebar
memandang dengan tajam.
Rambutnya tergantung lepas ke samping
ia pun telanjang.
Mahisawadana menari
kedua tungkainya menutup bersama;
ia berlari di atas tangannya
menjulurkan lidahnya yang bergetar
kedua tangannya bergerak
mencoba untuk meraih sesuatu.
Ketika semua telah menari,
Calon Arang, perempuan Girah itu pun tertawa riang*
Hantu? Bukan
Dia hanyalah bayangan seperti permainan anak-anak
Menari menggoda pada terang bulan
Tapi bukankah Mpu Baradah telah membunuhnya?
Kami berlari
dari kejaran dan perburuan
Wajah-wajah seram seperti hadir
di kepala kami
sungai membentang di depan kami
dan nafas kami tak beraturan
kugandeng tangannya
berjalan perlahan ketepian
hanya kaki-kaki kami yang menjadi mata kami
“Lewat sini!”
Kami melihat gadis desa yang manis memanggil tak ragu
Kami pun sadar siapa wajah-wajah seram yang mengejar kami
Saat itu Kantor Bupati sudah jauh di belakang kami.


Guntur, 140307
* diambil dari: Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung, 2000; 444-446

Jumat, 09 Februari 2007

Wajah


Wajah jelek ini siapa punya?
Cermin di depanku mengeluh.
Aku pun mencari jawab:
buruk muka cermin dibelah.
Cermin retak di depanku tiba-tiba menangis.
Dan katanya?! “Aku dan kau, jelek engkau.”

Jakarta, 9 Februari 2007