Rabu, 03 Desember 2008

Mulut




untuk lastri

mulut ini jangan sampai kau bungkam
biarkan berbisik sesayup angin
seperti dentang lonceng para rahib:
memanggil petani pulang
atau seruan Bilal bin Rabah untuk penghancuran perbudakan
pun biarkan  berteriak murka pada segala angkara
atau cukup: sebagai ajakan saja
mulut ini jangan  kau bungkam
biarkan seperti hujan yang menyisakan cahaya pelangi kehidupan kita
atau senja merah yang membara
pun bila perlu hujan dan angin yang membadai menyapu kemunafikan 
mulut ini jangan kau bungkam
bahkan sehari saja

Jakarta, 3 desember 2008

Selasa, 25 November 2008

Puisi:



untuk cantik


Kupeluk kau agar tak jatuh

Kuucap jadi doa

Kupikir jadi mata

Tak sesat

Sepanjang saat



Jakarta , 25 November 2008

Rabu, 05 November 2008

U A N G

Aku menyusuri jalanan kota
Kulihat langit mendung hitam berarak
Di antara lalu lalang orang-orang tergesa
Dan mereka yang mimpi: hujan uang segera tiba

Di dalam gedung-gedung menantang kuasa langit
Uang telah menjadi berhala yang diharap beranak-pinak
Tanpa kerja

Aku bertanya kepadamu
Dari mana semua orang ini mendapatkan uang?
Jawabmu dingin:

“Sewa, laba, upah.”

Hanya itu?

“Di luar itu, lumpen.”

Aku menyusuri jalanan kota
Kulihat orang-orang bekerja demi upah
Dalam pabrik-pabrik yang pengap tanpa K3
Kulihat pula orang mulai menghitung laba
di antara tetesan keringat buruh menanti upah sebulan
Dan mereka yang berbahagia di pagi hari
atas sewa tanah yang tak tergugat
sambil menyeruput secangkir teh hijau

Di perempatan jalan,
orang-orang tergeletak menanti recehan jatuh
penyanyi jalanan bernyanyi serak
diiringi gitar dengan dua senar yang putus

kota ini siapa punya…kota ini siapa punya?”

Aku lihat para pelacur mulai menjajakan diri
Di antara tiang-tiang lampu jalanan kota yang berdiri angkuh
menerangi wajah-wajah yang menangisi nasib
Karena ketrampilan diri tak laku di pasar tenaga kerja

Dan jutaan penganggur berjalan gelisah
dari desa-desa yang kerontang
berharap ada malam yang ramah di kota terakhir
sambil terus bertanya:
“di mana kami bisa bekerja?!”
Tak ada jawab walau berjuta tanya
menghantam dinding-dinding kota  

Hari menjelang pagi
Setelah malam tanpa tidur yang nyenyak
Tak lelah menanti fajar kemakmuran tiba

Tapi di kota ini apa yang bisa diharapkan
Bila  uang hanya mengalir ke kantong-kantong pemungut laba?



Jakarta, 5 November 2008 


Senin, 18 Agustus 2008

tentang perubahan dan sebuah gerakan

untuk dis

seandainya
aku punya mimpi
aku ingin bermimpi
tentang perubahan dan sebuah gerakan

seandainya
aku punya gagasan
aku ingin menggagas
perubahan dan sebuah gerakan

seandainya
aku punya cerita
aku ingin cerita
tentang perubahan dan sebuah gerakan

seandainya
aku berpikir
aku ingin memikirkan
perubahan dan sebuah gerakan

seandainya
aku bekerja
aku ingin bekerja
hanya untuk perubahan dan sebuah gerakan

setidak-tidaknya
untuk diriku sendiri

Jakarta, 18 Agustus 2008

Sabtu, 09 Agustus 2008

P E R G I

Begitu cepat waktu berlalu.

"Hai, Jangan pergi..."



Tebet Dalam, 9 Agustus 2008

Minggu, 01 Juni 2008

Kota Ini Ada di Tubuhmu

Kota ini ada di tubuhmu
Sepuluh tahun yang lalu
hanyalah misteri dan beban moralitas
tak ada yang berbisik tentang kebenaran, tentang keberadaan
kecuali angin yang berdesir di antara berlembar-lembar bacaan para filosof
menari bersamamu di malam
diiringi musik sedih dan pemberontakan

Begitulah aku mengenalmu
Kamu berbisik yakin:
“lelaki misterius menjelaskan padaku arti pemberontakan”

Dua kota yang terbakar itu pun kamu
Pada bening air matamu yang jatuh
Ketika orang berkisah dengan bangga tentang pemusnahan
Begitulah kamu sampai di sini
Kota yang tak mengenal siang dan malam
dengan para pekerja yang miskin dan merana

Di jalanan kota yang gelap
Lorong pengap
Di siang menebar debu kematian
Bersama para pekerja dan orang-orang miskin
Kamu tak letih menjejakkan kaki
Saling berbagi pengetahuan yang terbatas
Membesarkan barisan menuju pusat kota
Membongkar penindasan… penghisapan.

Jakarta, 1 Juni 2008




Minggu, 10 Februari 2008

Drupadi


Jika aku ingin menangis
Aku tak ingin menangis di depanmu
Apakah aku tampak seperti perempuan murahan?
Yang menjajakan diri di jalanan, taman-taman dan alun-alun kota?
Setan apa yang ada di otakmu
Hingga kau jadikan aku barang taruhan?
Jika aku ingin menangis
Aku tak ingin menangis di depanmu
Begitu dinginkah hatimu
Dan kering air matamu?
Melihat aku ditelanjangi di depan umum?
Orang-orang tertawa mesum dengan wajah-wajah birahi
Kamu, yang kupikir mencintaiku
Dan kurelakan tubuh telanjangku untuk malam-malammu
Hanya membisu
Membuang muka
Oh para dewa, mengapa kamu kirimkan lelaki
Yang membisu ketika perempuannya dipermalukan?
Dan aku melihat perempuan-perempuan menutup mata dan muka
Ketika melihatku ditelanjangi beramai-ramai di alun-alun kota
Mungkinkah mereka mengalami kehinaan seperti diriku?
Ditelanjangi tanpa kerelaan diri?
Kekasihku?
Apakah aku tampak seperti perempuan murahan?
Hingga ada lelaki yang tak ragu menyeret rambutku
Menjamah tubuhku?
Dan kamu?
Membisu?
Adakah yang salah dalam diriku?
Ada memang lelaki yang kutolak cintanya karena alasan orang tuaku
Dia bukan dari golongan bangsawan
tapi tak pernah ia kecewa dan dendam kepadaku
menerima nasib dan takdirnya: lahir bukan dari rahim bangsawan
Apakah karena penolakan itu...aku kini menerima balasan?
Ditelanjangi di depan mata para lelaki yang bernafsu
Dan suamiku membisu tak bergerak?
Jika aku ingin menangis
Aku tak ingin menangis di depanmu
Aku, Drupadi yang kehilangan cinta dan perlindungan
Kemana aku harus mencari?
Di jalanan kota lebih tak aman
Perempuan-perempuan miskin
Dipaksa menari telanjang tanpa upah layak
Cuma cukup untuk makan
agar esok malam cukup kuat menari telanjang lagi
dan lagi sepanjang hidup sampai pada kematian menjemput
Dan mereka yang terpaksa dan dipaksa menjual tubuhnya
Antri ditelanjangi lelaki-lelaki kawan berjudi lelakiku
Oh para dewa kemana aku harus pergi?
Seluruh mata di kota memalingkan muka kepadaku
Dan lelaki yang telah membikin aku murahan
Membisu tanpa daya dalam kekosongan
Jika aku ingin menangis
Aku tak ingin menangis di depanmu
Lelaki yang telah membikin aku murahan
Seperti mereka, para perempuan yang dihinakan di kotaku
aku membisu dalam dendam tak berkesudahan
dalam kamar-kamar kesendirian
sampai fajar menyingsing
Lelakiku! Lelakiku!
Air mata ini terlalu mahal untuk ditumpahkan di depanmu
Aku, Drupadi yang kehilangan cinta dan perlindungan
Kemana aku harus mencari?
Tentu tidak kepadamu

Jakarta, 10 Februari 2008










Sabtu, 12 Januari 2008

Bergegaslah



untuk petro

lampu-lampu kota mulai menyala
deras dan rintik hujan saling berbagi waktu
aku berdiri menanti di emperan toko
hembusan angin menerpa wajahku

seakan membawa pesan

:"jangan takut. tak ada badai. bergegaslah."

Jakarta , 12 Januari 2008