Kamis, 28 Desember 2017

Surosowan: Kisah Kejayaan Dan Penghancuran

Kesultanan Banten adalah tinggalan dari Sunan Gunung Jati ketika pengislaman di Jawa bagian barat dimulai; juga merupakan strategi Kesultanan Demak untuk mencegah terjalinnya kerjasama antara Kerajaan Hindu Pajajaran dengan Portugis yang mulai berjaya di Malaka.
Untuk menjalankan misi ini,  pada 1528, Sultan Trenggana memerintahkan membuat meriam besar di Demak yang diberi nama Ki Jimat dan kemudian dikirim ke Banten. Sunan Gunung Jati berkuasa di Banten hingga 1552.  Ia lalu ke Cirebon  dan menyerahkan kuasa Banten kepada anaknya, Hasanuddin ( 1552-1570) yang telah meluaskan wilayah kekuasaan di kedua sisi  Selat Sunda. Yusup, cucu Sunan Gunung Jati, kemudian menaklukkan Pakuan, ibu kota kerajaan Pajajaran, 1579. Tinggalan Sunan Gunung Jati ini terus menuju puncak kejayaan.
Kejayaan Kesultanan Banten tentu bukanlah dongeng. Tome Pires berkisah bila kapal-kapal Banten pun sudah berlayar hingga ke Maladewa; sementara Pyrard de Laval di 1609, sebagaimana dikutip Denys Lombard mengatakan: “Banten adalah kota besar yang cukup padat penduduknya…Kota itu dikelilingi tembok bata yang tidak lebih dari dua kaki tebalnya. Setiap seratus langkah, di dekat tembok, ada rumah-rumah yang tinggi benar, yang dibangun di atas tiang-tiang layar kapal dan dipakai untuk pertahanan kota, baik sebagai tempat pengintaian maupun untuk memukul musuh dari tempat yang lebih tinggi…Ada lima lapangan, luas benar, yang setiap hari menampung pasar segala macam barang dagangan dan makanan yang dapat dibeli dengan murah, hingga hidup di sana terasa sangat enak…Di luar tembok ada sejumlah rumah untuk orang asing.”
Kesultanan Banten pun mengalami puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, 1650-1682. Di bawah kuasanya, Sultan Cirebon menyatakan takluk pada tahun 1677.  Tak hanya itu sebagaimana dicatat Denys Lombard (2008) Sultan Ageng  “… merangsang perniagaan, melaksanakan perkerjaan besar di bidang kanalisasi dan pengairan, membangun istana baru dan terutama tak henti-hentinya menyerang bangsa Belanda di daerah Tangerang dan Angke.”
Walau demikian tak dapat disangkal bahwa kejayaan Banten adalah akibat dari kejatuhan Malaka oleh Portugis di tahun 1511. Pires pun masih bisa bersaksi bahwa kedudukan pelabuhan Banten masih kalah dengan pelabuhan Sunda Kelapa. (Baru) setelah Banten menduduki Sunda Kelapa pada tahun 1527, pelabuhan Banten menjadi pusat perhatian dunia: berbagai negeri pedagang datang berebut belanja lada yang melimpah ruah. Lada-lada itu terutama datang dari bagian selatan Lampung. Sunda Kelapa baru dapat menyaingi Banten ketika Belanda mengambil-alih di tahun 1619 dan mengubahnya menjadi Batavia. Pada tahun 1682, Batavia pun menggungguli Banten bahkan menangkap Sultan Ageng Tirtayasa yang selalu mengancam Batavia dan menjadikan Sultan-Sultan Banten berikutnya sebagai boneka Batavia.
***
Kini kenangan akan kisah kejayaan Banten di masa dahulu itu masih tersisa di hari ini di antara kisah-kisah keterpurukan Banten yang berlangsung pada hari ini. Keraton Surosowan, disebut juga Gedong Kedaton Pakuwon, tempat tinggal para sultan Banten itu masih punya cerita dan kenangan yang tak akan dilupakan. Surosowan yang dahulu jaya, kini memang hanyalah puing-puing belaka. Itu pun tak mengurangi banyak orang untuk datang. Begitulah kami, para penyair, di antara agenda perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X di Banten yang berlangsung dari tanggal 15 – 17 Desember 2017, mengunjungi Surosowan. Kami datang di pagi hari yang cerah pada 16 Desember; memasuki kompleks Surosowan setelah gagal memasuki Museum yang masih tutup tapi masih sempat menyaksikan Meriam yang tampak gagah dan seakan selalu bersiap mengamuk pada siapa saja yang mengganggu ketenangan Surosowan. Orang Belanda menyebutnya Fort Diamant atau Kota Intan.
Menurut Babad Banten, Keraton Surosowan dibangun oleh Raja Banten pertama yaitu Maulana Hasanuddin (1526-1570). Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672-1687), keempat sudut keraton Surosowan diubah bentuknya menjadi bastion dan dilakukan penguatan tembok keliling dengan menempelkan batu karang di bagian luar tembok keliling. Perubahan ini dilakukan setelah Keraton Surosowan mengalami kehancuran akibat perang yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan VOC. Arsiteknya seorang berkebangsaan Belanda bernama Lucas Cardeel. Pada tahun 1808, lagi Keraton Surosowan dihancurkan; kali atas perintah Gubernur Jendral  Belanda Herman Daendels yang marah. Surosowan sebagai lambang kejayaan Kesultanan Banten, yang telah berlangsung sekitar tiga abad itu porak-poranda karena kemarahan Daendels yang tak terkendali. Daendels meratakan bangunan Surosowan seluas sekitar 3,8 hektar itu. Sebagaimana kita tahu, Daendels yang sedang bersiap menghadapi serangan Inggris berjibaku dan memaksa rakyat untuk bekerja membangun jalan raya pos pertahanan. Tapi melihat kesengsaraan rakyat, permintaan lagi  untuk tenaga membangun jalan pertahanan di barat itu  ditolak bahkah utusan Daendels:  Komandan Du Puy,  pada bulan November 1808,  dijatuhi hukuman mati pun pasukan Garnisun di benteng  Benteng Speelwijk dibantai.
Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin alias Sultan Ishaq  barangkali melihat peluang bahwa Belanda, kompeni di bawah Daendels sedang berhadapan dengan Inggris. Tapi sayang, Inggris tak datang membantu justru Daendels datang dengan bala tentara lengkap kira-kira seribu orang: mengobrak-abrik, menghancurkan kota dan menduduki takhta Sultan sambil berkata: “Mulai sekarang, akulah Sultan Banten”. Sultan Ishaq sendiri ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Tetapi sejarah Kesultanan Banten tidak diakhiri oleh Belanda di bawah Daendels tetapi justru ditutup oleh Inggris, di bawah Raffles bersamaan dengan diberlakukannya sistem landrent yang mencakup wilayah Banten. Pada  tahun 1813 itu  Raffles sebagai Gubernur Jendral mewakili Pemerintahan kolonial Inggris melucuti  Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dan memaksanya turun takhta. Sementara itu di masa kemerdekaan, Kesultanan Banten tak juga dipulihkan di bawah Republik Indonesia hingga pada hari ini. Pasca penghancuran Daendels itu, penghancuran Surosowan sebenarnya juga terus berlangsung  yaitu dengan mengambil bahan bangunan Keraton Surosowan untuk membangun bangunan-bangunan Belanda lainnya hingga hanya menyisakan tembok-tembok istana, lantai-lantai istana, bekas kolam renang….., yang masih bisa kita saksikan hingga hari ini.
Surosowan kini mau tak mau menjadi tugu peringatan bahwa segala sesuatu bisa datang dan pergi, bisa jaya dan jatuh. Pun bisa bangkit kembali walau seandainya kebangkitan itu hanya sebatas imajinasi akan kejayaan masa lalu. Kalau kita akan memasuki Surosowan, kita barangkali sebentar akan terpaku pada situs Watu Gilang. Pada papan yang menerangkan keberadaan situs tersebut kita mengerti bahwa “Menurut Babad Banten …watu gigilang dipergunakan sebagai tempat pentasbihan atau penobatan raja-raja di Kesultanan Banten. Dahulu ketika pendirian Kota Surosowan sebagai ibukota Kerajaan Banten, atas petunjuk dan nasehat Sunan Gunung Jati kepada putranya Maulana Hasanuddin, Watu Gilang yang berada di tengah kota tidak boleh digeser, karena pergeseran akan menyebabkan keruntuhan kerajaan.”
Aku sendiri tidak tahu apakah keruntuhan Kerajaan Banten dan hancurnya Kota Surosowan didahului dengan digesernya Batu Gilang ini sehingga kebenaran yang diramalkan Sunan Gunung Jati terbukti? Atau Batu Gilang itu tak pernah bergeser dari tempatnya semula? Bukan soal ini yang menjadi kegelisahan betul sehingga harus dicarikan jawabnya segera tetapi justru pada bagaimana masyarakat, atau barangkali ahli waris atau Pemerintah Daerah Banten memperlakukan situs Watu Gilang yang tampak begitu penting ini. Situs Watu Gilang ini terkesan tidak terawat, kumuh, berada di tempat yang becek bahkan ayam-ayam pun leluasa bermain dan memberikan aroma tak sedap sebagai “bentuk penghormatan” sebab manusia tak menjadikannya tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk  sejenak singgah. Sementara itu jalan menuju situs Surosowan juga kumuh dan becek. Tata kelola para pedagang yang ramai mengais rejeki dari nilai sejarah Surosowan seakan tidak diperhatikan agar mampu mendukung keindahan situs;  padahal situs Keraton Surosowan yang terletak di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui  Keputusan Menteri  Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 139/M1998 dan Keputusan Bupati Serang Nomor 430/Kep 459-Huk/2006.
Surosowan, menurut kamus Jawa Kuna, yang disusun Zoetmulder bisa diartikan sebagai tempat berlabuhnya (pelabuhan) orang-orang yang gagah-berani berwatak pejuang dan berjiwa pahlawan. Sejarah yang mengiringi pendirian dan kehancuran Surosowan sudah memberikan bukti itu semua bagaimana para pejuang yang gagah berani berjiwa pahlawan menjadi bagian dari Surosowan. Tapi hari-hari ini tak terawatnya Situs Watu Gilang sewajarnya sebenarnya adalah juga bagian dari proses “penghancuran” nilai-nilai  Surosowan itu sendiri.
AJ SusmanaWakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)http://www.berdikarionline.com/surosowan-kisah-kejayaan-dan-penghancuran/

Jumat, 08 Desember 2017

Guru

Mengenang  HS anggota PGRI Non-Vaksentral

Guru adalah cerita kesedihan
Pahlawan tanpa tanda jasa
Dikenang dalam panggilan
Mencerdaskan bangsa
Sampai kapan?

Guru adalah dongeng pencerahan
Di malam gulita
Tanpa obor pengetahuan
Di mata pemburu
Yang tak puas pada pembungkaman

Guru adalah sejarah
Yang mengajarkan perubahan
Pada waktu  yang dipercaya
Akan kemilau di matanya



Sang Hyang, 8 Desember 2017

Jumat, 24 November 2017

PUISI dan NASI

Puisi ini bukanlah puisi kalau tak menjadi nasi

Waduk Sermo,  24 November 2017

Sabtu, 11 November 2017

Tak Ada Yang Sia-Sia

Pahlawanku!
Tak ada pengorbanan yang sia-sia
Walau disia-siakan jaman

Kulihat  monumen-monumen  tak bernama
Puisi-puisi tak dibaca
Karena penguasa
Penguasa!

Angin  berbisik membawa kabar:
Di sana ada monumen-monumen pembebasan
Dan  bunga-bunga persembahan
Di sini ada puisi-puisi terindah
Dan   musik yang menggerakkan

Pahlawanku!
Tak ada yang sia-sia
Sia-sialah  penguasa yang melupakanmu
Kamu menjadi dongeng dan legenda
Menemani rakyat yang terhina dan lapar

Lalu hadir dalam mimpi-mimpi tak diharap:
Pesta  telah berakhir
Telah direndahkan mereka yang  berkuasa
Yang disia-siakan menemukan penghiburan!



Sang Hyang, 11 November 2017

Senin, 30 Oktober 2017

C R E D O


 Aku percaya bahwa persatuan tidak mungkin dibangun di atas landasan persatean:
                        Tumpukan mayat tanpa mantra dan doa-doa
                        Anak-anak hilang tanpa kerelaan
                        Tangisan ibu pertiwi tanpa penghiburan
                        Ratapan gadis yang jadi penghiburan

Aku percaya bahwa kemakmuran dan kebahagiaan tidak mungkin dicapai dengan menebar kebencian pada kemanusiaan:
 Atas nama ideologi, agama, ras, suku, golongan, jenis kelamin
Orientasi seksual….

Aku percaya bahwa keadilan hanyalah bualan pemerintah  selama ketidakadilan di bumi dipercaya sebagai kutukan nasib:
                        Putaran roda kehidupan sambil terus mendiamkan dan menonton
                        Penindasan dan penghisapan manusia atas manusia terus berlangsung
                        Di atas bumi

Aku percaya bahwa kebebasan adalah ibu pengetahuan yang menuntun manusia menemukan:
                        Jalan persatuan, kemakmuran, kebahagiaan  dan keadilan
                        Di atas bumi



Tangerang, 31 Oktober 2017

Selasa, 17 Oktober 2017

Puisiku adalah Jalan


Puisiku adalah jalan
Beraspalkan  luka dan derita
Dikeraskan oleh penindasan
Dihaluskan oleh penghisapan
Didera api perlawanan

Aku mendaki
Aku menurun
Dalam perjuangan menggapai bahagia

Di jalan bertabur debu
Deru tak berkesudahan
Malam dan siang
Ada matahari atau bulan
Terang bintang atau hujan
Terik atau berawan
Dalam fajar atau  senja
Lagu-lagu tetap dinyanyikan
Puisi-puisi diserukan
Tanpa perlu ijin dewi keindahan

Puisiku adalah jalan
Dikeraskan oleh  harapan
Dihaluskan oleh pengetahuan
Diyakinkan oleh mimpi-mimpi
Gunung atau lembah
Selalu ada danau perhentian
Yang tak perlu disesali
Oleh kaki-kaki yang tak henti
menuntut langkah



Jakarta-tangerang, 16 Oktober 2017

Minggu, 20 Agustus 2017

G 3 5 T 4 P U

untuk g 30 s

.......................................


dan semuanya
berbalik 180 derajat



Jakarta, 17 Agustus 2017


Sabtu, 12 Agustus 2017

Hari yang Tak Berubah

hari yang tak berubah
detik yang tak berdetak
udara kebencian
apa yang kau harapkan?

tanah air yang satu
berbangsa satu
bahasa persatuan
kau jalani dari balik jeruji

dan doa-doa yang tak pantas dipanjatkan
masih membumbung di langit-langit republik

"kau harus mati!"


Batu Merah, 9 Agustus 2017

Minggu, 21 Mei 2017

Tak Kan Melupakanmu

Tak Kan Melupakanmu

Kumpulan Cerpen Putu Oka Sukanta
harga: 30 ribu
pesan sms-wa 082124614776






Selasa, 16 Mei 2017

Perempuan Tangguh, AJ Susmana, kumpulan cerpen

Perempuan Tangguh, kumpulan cerpen, AJ Susmana, 2009, 
harga Rp 25.000,
pesan sms/wa 082124614776





Kamis, 04 Mei 2017

O Angin!

untuk Kertanagara


O Angin!
Datanglah!
Kita adalah putra-putra Sang Bayu
Ditakdirkan untuk keselamatan dunia
Di garis paling depan kita menuju
Tanpa takut tanpa ragu
Khubilai Khan jangan terus maju

O Angin!
Bergeraklah!
Kita adalah putra-putra Sang Bayu
Bagaikan Hanoman melompati lautan
Mengawasi Raja Angkara murka
Begitulah kita menyeberangi lautan
Mengawasi langkah  Khubilai Khan

O Angin!
Lajulah!
Kita adalah putra-putra Sang Bayu
Di lautan, Bima menemukan kebenaran
Begitulah kita pada hari ini
Membuktikan bahwa laut adalah Kebenaran
Khubilai Khan, jangan kau terus maju


O Angin!
Bersatulah!
Kita adalah putra-putra Sang Bayu
Bawa kita pergi dan pulang
Dalam kemenangan yang cepat
Ayo, Majulah kawan-kawanku

Sebab kemerdekaan terancam!




Pesan buku ini via 
wa 081319468153
https://www.tokopedia.com/wongntan/menghadang-kubilai-khan
https://play.google.com/store/books/details/AJ_Susmana_Menghadang_Kubilai_Khan?id=ujY8EAAAQBAJ



Minggu, 30 April 2017

RAMBUT

Rambut di kepala ini masih tampak menghitam
Di usia empat enam
Menutup punggung menjilat pantat
Satu dua..ada yang putih

Kulihat rambut Ibuku tampak memutih
Di usia enam sembilan
Pun menutupi punggung 
Satu dua..ada yang masih hitam

Di bulan Januari tahun ini, aku melihat Ibuku mengumpulkan rambut-rambutnya yang berjatuhan 
Katanya,"Masih bisa diuangkan. Kumpulkan saja rambutmu yang jatuh. Kasihkan Ibumu."

Setiap kali aku memunguti rambut-rambutku yang berjatuhan, aku mengingat wajah Ibu
Menjadi rindu yang bertumpuk-tumpuk
Juga  pada kisahnya yang memilukan  tentang tragedi negeri di tahun enam lima

Kubawa gulungan rambut ini sejauh enam ratus kilometer kepadamu,Ibu.
Kerinduanku tak pernah berakhir
Dan  kisahmu belum juga berakhir


Pedan, 26 April 2017

Sabtu, 29 April 2017

Di Tahun 1965

Untuk …

……………………………………………….
Tanpa permisi
Di sini kecelakaan bisa terjadi
Persis di jalan menikung ke kiri
Dekat kuburan desa
Di sini tiga puisi diseret dan digebuki
Hingga mati
Karena menari
Karena menyanyi



Pedan, 2017

PASKAH

Ini tubuh telanjangku
Masih jelas goresan luka darimu
pun tubuhku masih nyata menggantung di langit-langit hatimu

“Consummatum est!”

Semua sudah selesai tapi kau tak percaya
Masih kau kejar aku di sudut paling sudut
Tak puas goresan yang lalu
Siapa terluka?

Aku akan bangkit
Entah hari ke berapa
Selalu menjadi tanya
Menjadi sebab:
Roma akan jatuh hanya semalam

Kamu pun berjaga sepanjang malam
Kebangkitan hanyalah  dongeng menakuti anak-anak

Tetapi anak-anak bernyanyi riang menyambut fajar merah
Dia sudah bangkit!

Di mana? Di mana?
Roma selalu bertanya di antara nyanyian burung hantu:
Dia sudah bangkit!
Dia sudah bangkit!

Aku pun bangkit
Pada saat itu Roma jatuh hanya semalam
Menjadi kenyataan


 Tangerang, 15 April 2017

Sabtu, 15 April 2017

SAJAK PETANI


Aku mencium bau tembakau
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku meminum air kemasan
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku mencium harum ganja
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku mencium bau semen yang diaduk
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku memasuki hutan lindung dan cagar alam
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku meluncur di jalan bebas hambatan
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku memancing ikan di bendungan
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku menikmati pembangunan
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku mendengar doa-doa untuk pembangunan
Di sana petani disingkirkan

Kuta Baru, 11 April 2017

Selasa, 11 April 2017

INDONESIA


Langit biru
Laut biru
Sungai-sungai
Memerah
Setelah melewati pintu gerbang kemerdekaan
Hari ini masih terbayang rumah kebangsaan di atas pasir
Hujan badai datang
Was was menghantui
Di malam yang sunyi bukan kesunyian
Di malam yang tenang bukan ketenangan
Kita tidak pernah tahu
Sampai di manakah kemanusiaan yang adil dan beradab
Yang telah diantarkan para pejuang
Ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Kecuali ketakutan-ketakutan
Karena sebagian dari para pengantar
Sungai-sungai memerah
Langit masih biru
Laut masih biru
Indonesia mengharu biru
Masih



Tangerang, 11 April 2017

Rabu, 05 April 2017

Waktu


Untuk John

Waktu mati di sini
52 tahun menyusuri matahari
Tak beranjak pergi
Ketakutan yang sama
Diciptakan penguasa
Di atas waktu yang terbatas
Buruh-buruh masih menuntut upah
Kaum tani tersingkir dari tanahnya
Pabrik-pabrik berdiri
Pencari kerja antre tergeletak
Di depan gerbang pabrik
Menjaga upah rendah
Atau memilih menjadi manusia gerobak
Menyusuri   waktu  di kota  yang mati
Ada musik, musik yang sama
Ada puisi, puisi yang sama
Ucapan duka cita pada sesama
Atau bahagia ketika tangis baru dilahirkan
Kita bukan manusia
Ketika waktu tak juga beranjak dari hari ke hari
52 tahun menyusuri matahari
Tak ada pagi yang baru
Di antara investasi yang terus diundang
Rakyat mati di meja birokrasi
Sesudah berteriak:
“Jangan menagih lebih  banyak daripada yang telah ditentukan bagimu!”
 “Dan kau, Tentara, jangan merampas dan jangan memeras!
Cukupkanlah dirimu dengan gajimu!”
Kepala tanpa tubuh pun menari-nari di kota yang mati
diarak sebagai hadiah bagi kebaikan investasi
waktu mati di sini
bila tak ada pertobatan!


Jakarta, 6 April 2017

Selasa, 04 April 2017

Pancang: Tonggak Melawan Diskriminasi

AJ Susmana


Kumpulan Sajak Pancang karya Astaman Hasibuan yang dilahirkan di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 17 Maret 1940 ini, dimulai dengan kemarahan dan tuduhan pada jenis manusia yang tak punya "Mata Hati":

Jendral-jendral yang tak punya mata hati
Kemana kau mencari mentari

Mengapa? Astaman menjawabnya dengan hampir seluruh sajak yang terkumpul dalam Pancang ini. Pada Mata Hati sebagai sajak pembuka, Astaman menulis:

Tanyakan pada air sungai
Berapa banyak yang terkubur di dasarnya
Ketika mula kuasa jendral-jendral membunuhi
Putra-putra bangsa ini
Air sungai tak pernah menghitung
Atau memang tak terhitung

Nelayan tak melaut
Perut ikan jadi pusara...
Mayat-mayat hanyut sampai di muara, ...
Mentari bukanlah, mata hati
Tapi mata hati dialah mentari
Apapun alasannya
Apapun yang menjadi dalih
...

Pada sajak Kelokan Parang Bengkok, Astaman menjawab:

Lembah, di bawah jalan raya jadi saksi
Dulu ketika benih kebencian dengan kebohongan ditabur
Di sini dieksekusi, tanpa peradilan
Laki-laki dan perempuan
Yang dituduh melakukan perebutan kekuasaan
Pada pemerintahan yang sah
...

Walau menurut Astaman: 

jenderal-jenderal itu mati dibunuh, ditembaki perajurit-perajuritnya sendiri dan pemerintahan soekarno dirampas jenderal Soeharto...

Lagi, pada sajak Bermain Bola, kita seakan diyakinkan oleh Astaman bahwa manusia yang tak punya Mata Hati itu benar-benar ada:

Cerita itu, tak ada yang percaya, tak mungkin pernah ada
Padahal di sini di asahan yang ramah tamah
Kala Pancasila dijadikan berhala
Kala dosa, diangkat jadi pahala
Kala angkara murka, merampas singgasana
Di penghujung enam lima
Ada yang bermain bola dengan kepala manusia
....

Kita barangkali sering mendengar kekejian yang brutal pada kemanusiaan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pasca G 30 S 1965, tapi di sini, Penyair Astaman menjadi saksi atas kekejian di Asahan.

Untuk semua yang telah berlalu hingga demokrasi yang berjalan ketika para jenderal dituntut diadili pada sajak Demokrasi, Astaman masih bertanya:

Mengapa masih berlaku kemunafikan
Mengapa mesti diskriminasi?
Dibutakankah semua mata hati?
Demokrasi boleh untuk siapapun, tanpa kecuali

Sebab, bagi Astaman,

Jendral-jendral itu mati, bukan ditembaki petani
Jendral-jendral mati di Jakarta
Petani dibunuh di bandar betsi
Jendral-jendral jadi penguasa

Astaman pun sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi bukan untuk orang-orang seperti dirinya:

Layang-layang putus di negeri orang
Dosa mereka, kuasanya jenderal

...
Sang jenderal yang berbintang lima
Tak lagi tinggal di istana
Meski begitu
Masih banyak sandungan
Tunggu, jangan pulang dulu
...
Demokrasi katanya untuk semua
Kecuali untuk kita,
Yang hampir-hampir tak berbangsa..

Astaman terus menorehkan rasa gusar, marah, dan kecaman atas ketidakadilan akibat peristiwa 1965. Kumpulan Sajak Pancang yang terdiri dari 40 puisi ini bagaikan peluru-peluru yang ditembakkan pada kekuasaan yang tak punya Mata Hati; terbit tahun 2002 oleh Pusat Pendidikan Populer, Medan, 4 tahun sesudah Sang Jendral Besar Soeharto dipaksa mundur.

Terbitnya buku ini dan buku-buku sejenis lainnya yang semarak di tahun 2000-an itu nampak menyambut datangnya era demokrasi, era kebebasan: seakan-akan situasi akan dibalikkan menuju Revolusi Demokratik pasca tumbangnya Orde Baru. Roemandung Drastiya Emyert mengantarkan buku ini dengan harapan:

Hanya para penipu berbaju palsu yang tetap bersikap keras kepala membenarkan pembunuhan atas diri anak-anak, perempuan dewasa atau bocah yang sebelumnya diperkosa, dihina, lantas tanpa peradilan dibunuh setelah dicap komunis atau di-PKI-kan. Di awal Orde Baru, banyak membunuh tidak hanya mendapat acungan jempol bahkan mendapat gelar pahlawan penegak Orde Baru, perintis Eksponen '66, sampai sekarang masih ada yang tepuk dada dan berbangga diri karena tegas dan tegar mempertahankan diskriminasi lewat TAP MPRS No 25/ 1966. Sejarah tidak mungkin dihapus oleh para pembohong."

Tapi jelas, harapan Roemandung Drastiya Emyert dan kaumnya itu masih jauh panggang dari api. Setelah Orde Baru jatuh, MPR hasil reformasi masih berketetapan untuk mempertahankan TAP MPRS No 25 tahun 1966. Ketetapan ulang  ini bisa dilihat pada ketetapan MPR RI No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 Pasal 2 dengan "catatan": kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Tetapi, Astaman Hasibuan sebagai penyair sungguh mempunyai mata hati yang tajam. Untuk itulah ia memberi judul kumpulan sajak ini Pancang. Ia tahu perjuangan menghapus diskriminasi yang berlaku pada golongan komunis di Indonesia masih panjang dan berliku. Ia hanya ingin memberi tanda dan mendirikan monumen Lingga untuk perjalanan yang pernah dilalui dan sebuah ruang dan waktu bisa sedikit berdoa dengan lega sebagaimana motto yang ditorehkan Pramoedya Ananta Toer mengawali epos besarnya tentang kebangkitan kesadaran nasional pada Bumi Manusia:

Han, memang bukan sesuatu yang baru jalan setapak ini

Memang sudah sering ditempuh
Hanya yang sekarang perjalanan pematokan

Pram pun menutup epos kebangkitan kesadaran nasionalnya pada Rumah Kaca dengan harapan sebagaimana Kidung Magnificat ya Kidung Maria:

Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles.(Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina)

...

Pancang memulai kerja
Tak ada pancang mengakhiri
Dialah tonggak
Dialah masa kini dan nanti
Karena dialah zaman baru
Dan pancang itu ada, mustahil tiada


Begitu keyakinan Astaman Hasibuan, sang penyair dari Medan Sumatera Utara.  


http://www.berdikarionline.com/pancang-tonggak-melawan-diskriminasi/

Senin, 03 April 2017

Di Depan Istana Presiden

Untuk mereka yang setia di hari kamis

Engkau masih selalu berharap
Tak peduli usia
Tak peduli sejarah
Yang masih ditulis untuk para pemenang
Kebenaran adalah kebenaran
Kau tuntut sampai ajal
Bila perlu jadi doa
Yang diucapkan sepanjang segala abad

Engkau masih di sini
Tak peduli waktu
Tak peduli hari akan berakhir
Presiden harus tahu
Rakyatnya telah dibunuh dan diculik

Tapi Presiden terus  sibuk mencari investasi
Menteri keuangan mencari pemasukan negeri dari pajak
Kita tidak butuh kejelasan atas masalah yang telah lalu
Kita butuh kejelasan untuk hari ini dan mendatang

Engkau masih menunggu
Di depan istana presiden
Presiden datang ke tendamu
membawa kabar baik:
Anak-anakmu yang hilang sudah ditemukan

Tapi Presiden sungguh sibuk
Menyapapun tidak
Padamu yang menyusuri waktu
Di istana presiden hingga hari ini

Kejelasan seperti  apa di hari mendatang?

Tangerang, 3 April 2017

Sabtu, 01 April 2017

Jumat, 31 Maret 2017

R I P

Untuk  H.S.


Aku taburkan mawar-mawar indah ini
Di atas pusaramu


Beristirahatlah dalam damai


Sungguh!


Sebab ada yang sudah di taman para pahlawan pun dibongkar
Sebab ada yang hendak pulang kampung tinggal tulang-tulang pun 
ditendang-tendang


Tangerang, 31 Maret 2017

Rabu, 29 Maret 2017

SAJAK-SAJAK INI

sajak-sajak ini membeku di rumah penguasa
atau membusuk bersama sampah di pembuangan
dengan harapan masih bisa tumbuh bunga mawar

sajak-sajak ini tak berarti di antara gemerincing emas dan perak
menjadi awas di hadapan para tuan

sajak-sajak ini aku serahkan kepadamu yang berotak dan berontak

sajak-sajak ini bukan penghiburan

sajak-sajak ini adalah hatimu sendiri

yang marah

ya, marah!


Tangerang, 30 Maret 2017