Selasa, 30 Juni 2015

Gelisahmu Adalah Matahari


Justin,

Gelisahmu adalah matahari
Mengusir kegelapan dari sarangnya
Sampai  fajar merah tiba

Di Blangguan
Kau bela petani yang tanahnya dirampas tentara laut
Tapi ia datang padamu seperti  iblis
Yang meyakinkan dirimu karena
gelisahmu adalah juga pada kebenaran kata dan tindakan
Ini bukan Orde Baru tapi Orde Palsu

Kau disiksa, disetrom
Ditendang dan dipukul
Ditelanjangi
Seperti Yesusmu yang membela orang-orang tertindas
“Emanuel!”

Kita pun mengangkat keranda orang mati untuk menyatakan kehidupan

Gelisahmu adalah bintang pagi
yang tak menyesatkan jalan musafir
Ketika kita berdiskusi soal rencana-rencana baik kita ke depan
Bagaikan kehidupan surgawi yang dijanjikan orang-orang beriman
Serta doa yang dikabulkan
Di atas bumi seperti di dalam surga

Aku pun ikut kamu sebagai juru selamat ketika organisasi kita pecah

Gelisahmu adalah rembulan di malam gulita
Ketika anak-anak riang gembira dalam permainan
Sementara ayah-bunda memadu kasih untuk generasi yang lebih baik
Kita pun bermain teater bukan untuk aktor tapi ator
Dengan cara itulah kita hendak menggulingkan penguasa

Sesudah pemberontakan berdarah di  kandang Banteng
Aku dan kau menjadi rahasia
Aku pun ingat pesan kawanmu:
“Klandestin. Tidak ada orang yang tidak bisa diorganisasikan
 bahkan  orang-orang di  istana Sang Jendral”

Sesudah Sang Jendral tak lagi menjadi rahasia
Kita masih menjadi rahasia

Sampai kini

Sesudah delapan ribu tiga puluh hari matahari  
Gelisahmu adalah  matahari
Yang dahulu juga
Kegelisahan Bung Kita

Revolusi memang belum selesai


Kota Bumi, 30 Juni 2015

Sabtu, 27 Juni 2015

Sajak Cinta


buat  dn

Sajakmu sajak cinta
Pada  orang-orang terbuang
Karena keserakahan
Pada orang-orang terkutuk
Karena berbeda
Pada orang-orang  putus asa
Karena kelahiran

Bersama orang-orang yang menuntut
Karena  keadilan dan kemanusiaan
Kau tak segan  maju ke muka
Dengan parang!


Kota Bumi, 27 Juni 2015

'Seni menyelamatkan hidup saya...'


Bisnis Indonesia, Jumat, 09-APR-2010

Berkecimpung di dunia kese­nian memang belum mem­buat AJ Susmana bergeli­mang harta. Namun, seni telah membawa anak Klaten ini menyam­bangi negeri tetangga. Seni pula yang menyelamatkan hidupnya dari kejaran aparat negara pascaperistiwa 27 Juli 1996 (Kudeta Dua Tujuh Juli/Kudatuli).

Mono, panggilan akrab AJ Susma­na, pada 1994 bertolak ke Australia mewakili Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) mengikuti Indian Ocean Trade Union Conference Cultural Network di Perth.

Di sela-sela pertemuan itu, laki-laki kelahiran Klaten, 20 November 1971 ini menggelar aksi teatrikal semi monolog. "Meski spontan tanpa latihan, aksi itu mendapat apresiasi ratusan hadirin perwakilan lebih dari 20 negara," katanya.

Cukup sederhana, dia menyusun beberapa buah meja bertingkat-ting­kat di panggung. Masing-masing tingkat ditempeli kertas besar be­r­tuliskan feodalisme, kapitalisme, imperealisme. Lalu, dia memukul-mu­kul piring dengan sendok sambil berteriak hungry!. Irama­nya naik tu­run. Pelan, la­lu lama-lama ken­cang.

Tanpa diperintah, penonton ikut memu­kul benda di sekitarnya sem­bari berteriak hungry. Saat seisi ge­dung bergemuruh, Mono meronta-ronta meruntuhkan meja yang tadi ter­su­sun. Meja itu ambruk dan Mo­no me­ngepalkan tinju. Di badannya ter­gan­tung kertas bertuliskan sosial­is­me.

Tahun itu, Jaker diketuai oleh Wiji Tukul, penyair asal Solo yang hingga kini belum diketahui di mana rimbanya. Mono sendiri menjabat sebagai sekjen. "Itulah pertama kali saya ke luar negeri. Sebenarnya tak habis pikir, anak kampung kok bisa keluar negeri," ujarnya seraya melempar senyum.

Dua tahun berikutnya, begitu peristiwa 27 Juli 1996 meletus, rezim Orde Baru menyatakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organ sekawannya, termasuk Jaker sebagai organisasi terlarang. Para aktivisnya diburu, termasuk Mono.

Saat saya temui beberapa hari lalu di markas Sanggar Satu Bumi yang dikelolanya di bilangan Tebet, Jakar­ta Selatan, pria berambut ikal ini me­ngaku sewaktu menjadi buru­an apa­rat negara pasca-Kudatuli diri­nya ter­tolong oleh ilmu seni yang di­miliki.

"Waktu itu saya kabur ke Bogor, tanpa tahu ke mana dan siapa yang akan dituju. Tapi saya terus berjalan hingga sampailah di kampus Universitas Juanda," paparnya mengenang masa lampau. Kini sorot matanya yang tajam berubah sembab.

Dalam hati dia bergu­mam "Seper­tinya kampus ini cukup aman untuk bersembunyi." Mono pun berkenalan dengan beberapa mahasiswa. Alha­sil, tidak butuh waktu lama baginya sehingga mampu men­dorong maha­siswa mendi­rikan kelompok teater.

Komunitas itu kemudian menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Lentera di Universitas Juanda. Mono orang pertama yang mengajar teater di sana. "Istilahnya sambil me­nyelam minum air. Sambil bersem­bunyi, mengasah ilmu dan bertahan hidup," kenangnya.

Hingga hari ini, teater Lentera te­tap menyala di Bogor. Hingga hari ini pula, tulisan, mantan ketua Fo­rum Seni Budaya Retorika Filsafat Universitas Gadjah Mada ini bertebaran di kolom seni budaya surat kabar lokal maupun nasional.

Sejumlah buku sastra telah lahir dari tangan dinginnya a.l kumpulan puisi Kota Ini Ada Di Tubuhmu (November 2008), kumpulan cerita pendek Perempuan Tangguh (April 2009), esai-esai untuk kemandirian bangsa Mengobarkan Kembali Perang Kemerdekaan (Juni 2009).

Penggubah lagu

Produktivitasnya di dunia seni tak hanya sebatas menulis dan berteater. Mono juga terampil menggubah pui­si menjadi lagu. Lagu gubahan­nya se­ring disenandungkan kalangan ak­ti­vis parlemen jalanan hingga penga­men jalanan.

Puisi fenomenal yang di­gubahnya, seperti Peringatan dan Nya­nyian Akar Rumput karya Wiji Tukul, Benar karya Andi Munajat, Barisan Ibu karya Agus Jabo dalam antologi puisi Negeriku, Tuhan Tu­run­­lah Ke Sini karya Yanti Irawan, dalam antologi puisi Ibu, Maaf Aku Nakal.

Menurut dia, nyanyian adalah bagian tidak terpisahkan dari manu­sia. "Manusia mana yang tidak suka musik? Terlepas dari perbedaan gen­renya, itu soal selera. Puisi yang saya gubah menjadi lagu, hanya puisi yang menurut saya punya ke­kuatan mem­bang­kitkan sema­ngat pem­be­basan kaum tertindas."

Kini, AJ Sus­mana tetap ber­karya da­lam kesederha­na­annya. Bersama kawan-kawan di Sang­gar Satu Bumi, dia bersiap men­dirikan Aka­­demi Kebu­dayaan Wiji Tukul dan sebuah pementasan teater akbar dengan melibatkan sejumlah selebritas. (redak­si­@bis­nis.co.id)

Oleh Wenri Wanhar
Kontributor Bisnis Indonesia

http://www.bisnis.com/servlet/page?_p...

Kamis, 25 Juni 2015

Kota Ini Ada di Tubuhmu


No ISBN: 9789791895002
Penerbit: JAKER
Tahun 2008
Soft Cover
harga Rp 25.000,
sms pesan: 08176546427, pin: 28FEF142


"Kerisauan" dan "harapan-harapan" merupakan dua tema besar yang bisa dirasakan pada puisi-puisi AJ Susmana(AJS). Dua poin ini selalu membingkai materi-materi puisinya yang beragam: tentang cinta, perempuan, "Aku", seseorang atau sesuatu dalam fantasi, religiusitas, rakyat, politik, ekonomi, sejarah, dll. Asosiasi atau nuansa puisi-puisi AJS cukup kuat karena padanan dan pilihan kata "yang tak terukur" bisa diolahnya dalam rangkaian pengalaman keseharian kita yang tak asing. Beberapa puisinya memang verbal karena mengedepamklan kritik-langsung berlatar realisme-sosial. Namun, ini b ukan cacat, melainkan pilihan situasional dan lapisan pembaca atau penyuka puisi semacam ini pun dipastikan selalu ada.

Mulyadi J. Amalik, penyair dan peneliti sosial



Membaca sajak-sajak ini seperti mendapat instruksi dari jiwa. Menimbang...,Mengingat..., maka berangkatlah ke medan juang. Jangan kembali sebelum selesai.

Dominggus Oktovianus, Ketua Umum FNPBI


Gambaran kegelisahan atas kondisi sosial yang disentuh dengan balada cinta.Lumayan, ada nuansa religinya...

Faridha Hidayati, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

B E N A R

dari puisi Andi Munadjat





benar kami hanya rakyat jelata
tapi negeri ini kami punya
hak kami tak bisa kau rampas
benar kami hanya buruh biasa
tapi kami punyapun harga diri
tanpa kami ….


# pabrik adalah rumah rumah hantu
mesin adalah rongsokan tak berguna
dan modal hanya sejumlah angka
sebab uang bukanlah babi yang –
bisa beranak

Rabu, 24 Juni 2015

Nyanyian Akar Rumput

dari Puisi Wiji Thukul






jalan raya dilebarkan
kami terus terusir
kami mendirikan kampung
kami terus tergusur
menempel di tembok-tembok
tercabut dan terbuang

kami rumput butuh tanah
hai dengarlah
ayo gabung ke kami
kami rumput butuh tanah
hai dengarlah
ayo gabung ke kami

biar jadi mimpi buruk presiden

Selasa, 23 Juni 2015

KETERWAKILAN, Kita dan Pengrajin Kata-Kata

Written by George Hormat Kulas  
Disclaimer
Sastrawan kita Ragil Sukriwul sedang di lembah terdalam moodnya ketika pada suatu siang --selepas mendiskusikan rencana gaya Iron Man pada kaosnya-- meminta saya turut mengulas buku puisi terbaru Mario Lawi pada acara ini. Saya adalah pilihan putus asa Ragil ketika mungkin orang-orang kompeten terlampau sibuk untuk diminta sedikit saja gratiskan waktu. Atau bisa jadi Ragil sedang sungguh kerehandphone dan motornya kehabisan napas, tak sanggup mengontak orang-orang hebat.
Saya bukan pengrajin puisi. Bahwa sesekali bikin puisi atau yang menurut saya itu puisi, adalah ya. Bukankah setiap orang berpuisi? Bukan pula kritikus sastra, meskipun kehidupan tentunya membentuk setiap orang menjadi kritikus alamiah atas segala sesuatu. Tidakkah bentuk primitif dari klasifikasi –diajarkan sejak kita kanak-kanak merangkak--adalah pada suka tak suka, baik atau buruk, boleh atau jangan? Juga bukan penikmat dan pemerhati sastra yang bersungguh-sungguh, apalagi pada tumbuh-kembang dunia sastra NTT. Bahkan baru jauh-jauh hari kemudian saya tahu jika adik bungsu saya Filio mulai rajin menulis puisi pada surat kabar dan Santarang, terseret ke dalam dunia Ragil dan Dicky Senda. Puisi-puisinya kelam, tentang Tuhan dan kematian, tentang kerinduan jiwa pada yang Ilahi. Sebagian besar berwajah senja.
Karena itu saudara-saudara, komentar-komentar saya terhadap Ekaristi Sang Mario Lawi mewakili pendangan penikmat sastra amatiran. Basisnya sungguh subjektif, melekat erat pada cara pandang pribadi.

Setiap kita punya cara pandang yang unik satu dengan lainnya. Cara pandang itu–kalau mau keren bunyikan sebagai persepsi—seperti DNA. Bedanya jika DNA berperan biologis, dalam tubuh yang sunyi membentuk fisik yang unik, maka persepsi adalah bentukan dunia sosial yang ramai, yang membangun mental –cara memaknai, berpikir, berperasaaan, hingga akhirnya bertindak—yang secara unik menanggap balik realita sosial. Dunia sosial itu material sifatnya. Ia adalah orang-orang, buku-buku bacaan, dongeng terkisah, kotbah dan wejangan, informasi dan peristiwa, serta pengalaman-pengalaman konkrit yang menyentuh kita sejak dikandung ibu hingga detik terkini. Tidak satupun manusia bebas persepsi subjektif. Karena syarat untuk bebas persepsi adalah berdiri di luar dunia material, melingkupinya dari segala sisi dimensi sehingga tak ada perisitwa dan entitas yang lolos pengamatan. Sayangnya, kita yakini hanya Tuhan yang bisa demikian.
Karena saya membedah Ekaristi Mario Lawi secara subjektif, Anda tak perlu takut komentar-komentar saya yang mungkin antagonis terhadap karya Mario akan mengecilkan jagoan Anda itu. Mario akan tetap luar biasa sebagai dirinya sendiri, tetap hebat dihadapan Anda dan banyak orang lain yang persepsi subjektifnya menyediakan ruang luas apresiasi terhadap genre karya Mario.
Membaca Ekaristi, Déjà vu 1999
Karena tidak memiliki disiplin ilmu dalam kritik sastra, yang saya lakukan adalah membaca rangkaian puisi dalam Ekaristi dan memeriksa kondisi batin saya selama proses itu. Yang terjadi, saya seperti mengalami Déjà vu pada suatu moment di Yogya, 1999.
Saat itu Minggu siang sebubar perayaan misa, saya bertandang ke kontrakan para imam praja Katolik asal Flores yang sedang menempuh pendidikan lanjut. Lokasinya di Mrican, tak berapa lama berjalan kaki dari gereja. Kemudian...makan siang usai, piring-piring dibersihkan, coba mengusir bosan,saya  meraih begitu saja buku yang tergeletak di meja. Tukang Kebun, karya Rabindranath Tagore. Sepertinya menjanjikan. Kira-kira 30 menit berlalu, saya merasa kondisi batin yang kemudian terasa sama ketika membaca Ekaristi.
Adalah kebetulan, perjalanan Mario Lawi dari Memoria ke Ekaristi menyerupai perjalanan Tagore dari Tukang Kebun ke Gitanjali. Menurut mereka yang punya ilmu terkait, Tukang Kebun adalah karya berisi deklarasi cinta Tagore yang bercampur antara rindu-takjub pada Yang Ilahi dan berahi-mesra pada kekasih duniawi. Sulit memastikan pada siapakah sebutan “Jelita Nakal” di sana diperuntukan, Tuhan yang Ukhrawi ataukah maitua  duniawi. Tetapi pada Gitanjali yang datang kemudian, banyak orang berani menyimpulkan adalah Tuhan semata yang dipanggil-panggil Tagore dengan rindu yang lebam.
Coba lihat Memoria Mario Lawi. Bukankah di sana bercampur ungkapan rindu yang profan dan yang sakral? Tetapi pada Ekaristi, setegas terjudul, kata-kata Mario memang diperuntukan pada Tuhan. Adalah kebetulan juga, Gitanjali (Nyanyian Persembahan) merupakan pelabelan kemasan yang tegas menelanjangi isi.
Tetapi bukan terkait hal di atas pengalaman saya bersama Ekaristi adalah Déjà vupada Tukang Kebun. Sebagai penikmat amatir, ruang bermain saya pada pengalaman mental subjektif ketika membaca kedua karya. Membaca Ekaristimelahirkan suasana mental serupa mencerna Tukang Kebun.
Setengah jam membaca Tukang Kebun, saya merasa kosong. Untaian kata  indah Tagore tak menyinggahi hati. Awalnya saya mengira ada yang salah dengan saya ketika hati dan nalar tak berahi pada karya besar seorang peraih Nobel. Getir rasanya. Mungkin saya kurang kapasitas mengapresiasi maha sastra. Mungkin format Tukang Kebun sebagai rangkaian puisi-puisi terlalu rumit untuk saya. Tetapi jika begitu, mengapa Pengakuan Pariyem dari Linus Suryadi , atau Durga Umayi milik Mangunwijaya yang berformat rumit toh bisa membekas kalbu meski sekali berjumpa?
Jadinya, dengan gegabah telunjuk saya arahkan pada penerjemahan Hartojo Andangdjaja. “Ah, mungkin penerjemahannya yang gagal-konteks sehingga suasana batin Tagore luput tersirat. “
Akhirnya Terjawab
Pada 25 November 2010 di Taman Ismail Marzuki, sang Putu Oka Sukanta berorasi pada peluncuran Burung Burung Bersayap Air kumpulan puisi karya Dewi Nova. Ia berkata,
“Puisi sebagai sebuah kumpulan kata, harus mampu mengorganisasi dirinya agar makna setiap kata dapat mengungkapkan / mempresentasikan dirinya untuk dipahami oleh pembaca dan kemanusiaan. Walaupun puisi merupakan hasil kreasi individu yang berdasarkan sudut pandang subyektif, puisi seharusnya bisa mengungkapkan nilai-nilai universal.
Hasil akhir sebuah puisi harus mampu mengedepankan objektivitas (relatif) atau esensi yang tersembunyikan di bawah sadar irama. Puisi pengungkapan mikro dan individual tetapi harus mampu mereprentasikan nilai-nilai makro yang universal dan berperspektif ke kemanusiaan. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi dan tujuan.
Puisi menurut saya tidak lengkap kalau hanya bisa dirasakan saja. Bahwa puisi pertama-tama menyentuh perasaan / emosi seperti halnya karya seni lainnya, itu benar. Tapi dari getar rasa yang dibangkitkan oleh makna kata dan irama, ia akan menjalar ke kesadaran rasio. Pembaca akan memperoleh kenikmatan dan pemahaman yang berakhir pada pencerahan.
Orang bisu yang cerdas dan cekatan tidak menjadikan kebisuannya sebagai hambatan untuk dipahami, bahkan orang bisu tersebut mampu memberikan pencerahan. Tetapi kalau puisi bisu, ia hanya dimengerti dan dinikmati oleh penulisnya (mungkin juga tidak) dan selebihnya ia memperdaya pembaca dengan kebisuannya untuk diposisikan sebagai puisi maha hebat, saking hebatnya sampai tidak ada orang yang bisa memahaminya. Puisi semacam ini saya sarankan untuk disimpan di dalam lacinya, sebab ini salah satu perangkap pembodohan.”
Berdikarionline.com memublikasi pidato tersebut dengan judul “Jangan Menulis Puisi Bisu.”
Tampaknya pidato Putu Oka Sukanta menyajikan setengah jawaban bagi problem saya. Ya, setengah. Karena tentu tidak ada demarkasi yang tegas membelah mana puisi bisu mana yang berteriak nyaring. Selalu ada daerah abu-abu, karena filter terletak pada persepsi subjektif penikmat. Sebuah puisi bisa jadi bisu bagi pribadi atau komunitas tertentu, tetapi nyaring bagi yang lainnya.
Misalnya jika sekarang saya menggubah kalimat, “Untukmu percik kusebar, menjadi kobar di setiap singgah.” Bagi saudara-saudara, mungkin kalimat ini bukan apa-apa. Tetapi ia bisa jadi “sesuatu banget” bagi 1) mereka yang pernah bersentuhan dengan spiritualitas Claretian di Matani sana, yang memaknai diri mereka sebagai  “a man –mengikuti jejak Sang Bunda-- on fire with love, who spreads its flames wherever he goes”; 2) para aktivis revolusioner akan menautkan maknanya dengan memori mereka pada slogan Iskra –majalah Rusia tempat Lenin pernah menjadi editornya— “From a spark a fire will flare up;” sedangkan 3) perawan kasmaran yang ditinggal merantau sang kekasih mendamba itu syair bisikan pujaan hati, terus menjaga api cinta mereka meski harus pindah dari satu perkebunan ke perkebunan lain.
Ketika Ragil Sukriwul menulis “Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu,” ia mungkin menulis tentang masa kecil dirinya atau orang lain di sekitarnya. Tetapi puisi itu nyaring berteriak kepada setiap pasangan kawin beranak yang sedang bertengkar hebat. Puisi itu tiba pada saya di tengah cekcok berat dengan istri. Di hadapan subjektif saya saat itu “Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu”  berubah tangisan nyaring Sang Jyestha, putra tercinta kami. Puisi Ragil mendorong pada tindakan, berdamai.
Bisu atau nyaringnya sebuah puisi tidak hanya bergantung massa, tetapi juga masa. Puisi yang nyaring pada masa tertentu, bisa saja tak lebih dari rangkaian kata bisu pada masa sebelum atau sesudahnya.
Ketika 1918 Bapak Pers Indonesia Mas Marco Kartodikromo menulis “Sama Rata dan Sama Rasa” di Penjara Weltevreden (1917, dibukukan dalam Syair Rempah-Rempahpada  1919)   kata-kata itu sedemikian terkenal di masanya karena mewakili kehendak kuat rakyat Nusantara untuk lepas dari penjajahan kolonialis Belanda dan perhambaan feodalisme. Sama rata sama rasa juga menjadi frasa yang memudahkan dalam menjelaskan komunisme. Tetapi bagi generasi yang lebih terpelajar di kemudian hari, sama rata sama rasa adalah penjelasan keliru atas prinsip keadilan di dalam komunisme. Karena di dalam komunisme keadilan masyarakat kepada individu warga itu setara cinta ibu pada anak-anaknya: setiap orang mendapat sesuai apa yang dibutuhkan dan berkontribusi sesuai apa yang sanggup.
Contoh lainnya adalah kalimat “Boeng, Ajo Boeng” yang disumbang Charil Anwar pada poster Afandi. Kata-kata yang akrab di kalangan pekerja seks berubah menjadi seruan ypembangkit semangat para pemuda dalam masa Revolusi kemerdekaan 1945. Kini kalimat itu kehilangan daya magisnya. Seolah kembali ke habitat, ia bisa saja diucapkan seorang rohaniwan saat mengajak kawan ke lokalisasi.
Itu pula yang terjadi dengan “Hasta la victoria siempre” (Bung Guevara), “Hanya satu kata, Lawan!” (Wiji Thukul), mungkin kalah zaman dibanding “We are the 99%” (Occupy Wall Street).
Mari Konkritkan Contoh
Agar konkrit pengalaman kita tentang bisu atau nyaringnya sebuah puisi, ada baiknya kita coba merasa perbandingkan karya Mario F. Lawi, AJ Susmana, dan Kahlil Gibran dalam puisi yang terinspirasi pengalaman atau tokoh Maria Magdalena. Yang manakah yang lebih nyaring bicara pada masing-masing kita?
1.             Mario F. Lawi, “Magdalena” dalam Ekaristi
Menangkapmu. Berkali-kali aku harus memastikan agar kau tak ikut tenggelam ke dalam nikmat yang mangsi. Bersusah aku menyelamatkanmu dari amukan para penyelam, seorang muridku justru berniat menggenapimu berulang kali. Sungguh pintumu tak hanya menerbitkan birahi atau aroma narwastu yang pernah kau labuhkan di kakiku. Kuharap kau masih mengingat ketika pertama batu-batu bersijatuh di hadapanmu, si Janggut Putih yang bersikeras mengarahkan rajam tajam ke arah lambungku. Kubuatkan sukatan dengan tanah liat dan sepotong kayu, tak lebih kelit dari jarak hati dan payudaramu.  Ara yang kupelihara segera mengutuk dirinya karena tubuhmu ternyata lebih ranum dari daging pejalnya. Misalkan surga itu doa para imam agung, maka lebih pantas kau menghadapku. Amin. Kukatakan kepadamu, ia seumpama lemak yang menetes dari merpati panggang kini hinggap di tanganmu. Tentu saja jauh sebelum aku menangkapmu. Menyelamatkan angkamu.
2.             Kahlil Gibran, “Mary Magdalen” dalam Jesus, The Son of Man
His mouth was like the heart of a pomegranate, and the shadows in His eyes were deep. And He was gentle, like a man mindful of his own strength. In my dreams I beheld the kings of the earth standing in awe in His presence. I would speak of His face, but how shall I? It was like night without darkness, and like day without the noise of day. It was a sad face, and it was a joyous face. And well I remember how once He raised His hand towards the sky, and His parted fingers were like the branches of an elm. And I remember Him pacing the evening. He was not walking. He Himself was a road above the road; even as a cloud above the earth that would descend to refresh the earth. But when I stood before Him and spoke to him, He was a man, and His face was powerful to behold. And He said to me, "What would you, Miriam?" I would not answer Him, but my wings enfolded my secret, and I was made warm. And because I could bear His light no more, I turned and walked away, but not in shame. I was only shy, and I would be alone, with His fingers upon the strings of my heart.
3.             A. J. Susmana, “Balada Cinta Lena”  poesie lyrique (atau prosa lirik?), karya penutup dalam Kota Ini Ada di Tubuhmu. (Agar tak terlalu panjang, banyak bagian kami hapus, demikian pula penggalan baris kami edit sehingga jauh berbeda dari format asli.)
Aku mencintaimu. Di mana kita bertemu aku lupa.  Kapan kita bertemu aku lupa. Mengapa aku mencintaimu, aku tak pasti. Seingatku sejak kau bela dengan berani pelacur itu. Kamu katakan pada mereka “Siapa yang tidak punya dosa hendaklah ia yang pertama melemparkan batu-batu ini pada perempuan itu”. Aih, sungguh! Aku terangsang dan rindu. Kamu pemuda istimewa, tak seperti pemuda-pemuda lain yang tunduk-taat pada adat dan faham kaum tua.
***
Kamu tahu, pelacur itu kawanku.  Sungguh malang dia, tertangkap dan diarak massa. Ketika kau membelanya, aku yang senasib berdiri di kejauhan. Takut. Mereka telah memusuhi kami lama. Mereka sebut kami sampah masyarakat. Aku cuma ngerti “Sebuah istana toh butuh selokan yang kotor?” Mereka tidak peduli.  Cuma di saat gelisah mereka datang padaku, menghiba-hiba, menyetubuhiku, memaksakan tangannya meremas dadaku,memaksakan mulutnya melumat mulutku. Aku mengeluh sakit, mereka tak peduli.  “Sudah kubeli tubuhmu dengan uangku.” Aku menangis mereka tertawa, dan teruslah mereka berpura-pura suci, di depan isterinya,  di depan anak-anaknya,  di depan mertuanya, di depan tuhannya. Ya, ampun, semakin mereka berlagak suci tujuh turunan hujatan kepadaku pun berlipat-lipat. Mereka sebut aku “Perempuan dengan tujuh roh jahat. ” Tujuh roh jahat? Apakah itu? Memang ibuku seorang pelacur, aku dibesarkan di pelacuran, aku dilahirkan tanpa bapak. Mereka sebut aku anak haram, aku tidak sekolah dan tidak beragama, aku tidak menikah,  aku berteman dengan pelacur dan kaum homoseksual, aku sendiri pelacur.
***
Adakah yang mirip di antara kita? Aku dengar Kamu tak berbapak, Ibumu mengandung kamu sebelum menikah. Kamu juga liar, tidur di jalan dan di taman-taman. Belum menikah. Sungguh gila! Adat memaksa lelaki di atas 14 tahun harus menikah,perempuan setelah haid harus juga menikah. Kamu?  tiga puluhan. Apakah kamu gay?
***
Kubuang dulu pikiran itu jauh-jauh. Aku belum mengenalmu. Barangkali engkaulah juruslamatku. Yang akan mengangkatku dari lumpur zinah. Atau engkaulah kekasihku, pelabuhanku. Sekarang biarlah kusimpan di hati
***
Memandangmu seperti memandang kerajaan surga yang selalu kamu katakan. Kepadamu harapanku melambung. Iingin kunyanyikan lagu untukmu dan tak ingin ku kenal yang lain. Sungguh aku ingin kamu jadi pahlawanku. Aku ingin suatu saat kamu berkata kepadaku: “aku mencintaimu, Lena!” Bukan dengan kelembutan tapi dengan teriakan liar hingga orang-orang mendengar, tak hanya di sini tapi seluruh dunia. Biarkan para perempuan mati cemburu karena kita dan mereka yang masih bernafas mengakuinya. Sebab apa katamu? “Siapa bertelinga hendaklah mendengar?”
***
Aku suka kata-kata itu.  Akan kutunggu kata-katamu kepadaku sebab tak mungkin aku yang pertama walau aku bisa dan tidak menolak.  Aku ingin kamu jadi lelaki dan aku perempuan
***
Aku ingin bertemu denganmu tapi gimana caranya. Apa kamu tahu caranya?
***
Sekali-kali kamu datang minum anggur  di tempat kami mangkal tapi aku tak berani ambil kesempatan. Aku malu menemuimu, padahal mata kita sempat bertemu. Aku takut. Anak-anak buahmu selalu menjagamu dengan angkuh. Padahal aku tahu mata mereka adalah mata anak-anak nelayan yang penakut. Apakah kelak mereka akan seberani engkau? Bangsat! Siapa mereka? Simon, Andre, anak-anak zebedeus, Yohan, yakobus?
***
Aduh, tuhan. Gimana caranya! Sekali lagi aku melihat kamu nongkrong minum anggur. Aku cuma bengong melihat surga di depanku, sampai tersadar ketika kamu berteriak-teriak marah Pada orang-orang munafik. “Kaliyan bilang apa kepadaku? Peminum dan pelahap? Puih! Dulu datang seorang nabi, tidak makan dan minum anggur,  makanannya cuma belalang dan madu hutan, Kamu bilang: orang gila. Kini aku datang, makan dan minum di tengah orang-orang berdosa, miskin dan papa, kamu bilang: aku, pelahap dan peminum.  Kaliyan memang sampah! Munafik! Kami meniup seruling bagimu, kamu tak menari. Kami nyanyikan lagu duka, Kamu tak menangis. Celakalah kamu. Kamu adalah kuburan yang di luar dicat putih tapi di dalamnya adalah tulang-belulang busuk!” Aku tersentak. Benarkah yang kamu katakan itu? Mengapa kamu maki orang-orang yang dikenal baik itu?
***
Uh, sungguh aku ingin menemuimu. Tak pernahkah kamu sendiri sehingga kita dapat bicara, “Kenalkan, namaku Lena! dan namamu? Bisakah kita nanti malam bertemu di taman Zaitun?” Aduh, aku bisa gila. Teman-temanku tertawa ngakak. Aku tak peduli. Karena kamu aku memang gila.
***
Kudengar memang, Pada malam kamu bersama anak buahmu sering nongkrong di taman Zaitun. Aku takut menemuimu di sana karena malam-malam di sini sangat jahat. Perempuan baik bisa dibikin jalang. Apalagi buat perempuan jalang, bisa dibikin apa saja, tiada yang membela. Masih untung ketemu kamu dan anak buahmu. Kalau tidak?
***
Kesempatan itu datang. Aku sedang nongkrong di pasar. Aku lihat kamu memasuki rumah kawanmu. Ia nampak gembira. Kali ini takkan kulepaskan. Kubeli minyak wangi termahal dan terbaik. Aku nyelonong masuk, tak peduli mereka sedang apa, saat itu hanya kamu di otakku. Aku hanya takut kamu akan menganggapku tukang bikin sensasi, dan sensasi adalah bagian dari hidupku yang terbesar. Aku tidak peduli. Kutuangkan minyak wangi di kakimu, kuusap dengan tanganku, kubersihkan dengan rambut hitam panjangku, kuciumi kakimu yang putih. Aku menangis. Kamu dengan tenang, dalam jiwa yang membela, memandangi orang-orang yang keheranan,  “Semahal itu cuma dihabiskan begitu saja?” Dengan cara itulah kamu mengenalku, dan aku mulai dapat mengenalmu lebih dekat
***
Akupun mulai sering berjalan denganmu  dan kawan-kawanmu seperti yang kamu bilang kepadaku bukan anak buah seperti yang sering aku katakan. Kamu mengajariku doa bila aku gelisah: “Bapak kami yang ada di surga dikuduskanlah namamu, datanglah kerajaanmu, jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di surga. Bberilah kami pada hari ini makanan kami secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni  orang-orang yang bersalah kepada kami…”
***
“Mengapa kita harus menyebut Bapak?” Aku protes. Kamu bilang: bapak kita ini sungguh baik tidak membedakan yang baik dan jahat, seperti hujan dan matahari diberikan semuanya, air dan panas teriknya kepada manusia, kepada anak manusia.
“Bohong!”
“O ya?” Kamu hampir tak percaya aku bisa berkata seperti itu
“Kupikir karena kamu tidak punya bapak. Lalu kamu dambakan bapak yang sungguh baik”
Kamu cuma tertawa, memandang jauh
“Mengapa tidak kamu sebut ibu?”
Kamu terdiam, hanya berbisik, “Ibuku juga sungguh baik”.
***
Kamu gelisah menatap bintang-bintang malam. Angin malam membuat malam tambah dingin, tapi itu tak membuatmu dingin.  Kamu dekatkan wajahmu kepadaku dan berkata lembut, “Ibuku sungguh baik. Ia, seorang ibu yang menerima di saat-saat kegentingan menimpa dirinya karena tanpa menikah ia mengandungku, ia berseru: ‘jadilah kehendakmu!’ Karena penerimaannya, ia menjadi berani.  Tiada pernah takut! Sekalipun ditinggalkan lelaki tunangannya, sekalipun kutukan dan kecaman  akan datang dari keluarga, teman dan tetangga, Ia tidak takut ditinggalkan sendirian. Justru karena itu  lelaki tunangannya tak pernah meninggalkannya. Ia telah melewati malam dingin dan menakutkan  saat mau melahirkan aku.  Ia melewati jalan panas dan berdebu ke Mesir, melewati malam dingin mencekam pada jalan ke Mesir ketika raja bengis mengamuk membunuh bayi-bayi. Saat mengandung aku ia menyanyikan lagu terindah yang tak ada bandingannya sampai kini. Ketajaman puisinya menembus hatiku  yang aman dalam rahimnya sehingga aku bergerak.  Jiwaku memuliakan Tuhan hatiku bergembira karena Allah juruslamatku, Ia telah memperhatikan kerendahan hambaNya. Sesungguhnya mulai dari sekarang  segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku.  NamaNya adalah kudus,  rakhmatNya turun-temurun atas orang yang takut akan dia. Ia memperlihatkan kuasaNya dengan perbuatan tanganNya, mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya; meninggikan orang-orang yang rendah; melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar; menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa…”
***
Dalam terang bulan kupandangi wajahmu yang gelisah. Ingin aku membelai rambutmu yang ikal sebahu. Aku takut sampai sejauh ini Kamu memanggilku kawan, seperti pada yang lain. Bahkan kamu bilang: “Berbahagialah  orang-orang yang mati untuk kawan-kawannya” Tak inginkah kamu mencintai? Tak inginkah kamu dicintai? Tak inginkah kamu disentuh? Tak inginkah kamu?
***
Oh, syet! Apa yang kamu pikirkan. Aku ada di depanmu tapi matamu memandang ke tempat-tempat yang jauh ke tempat-tempat yang tidak mengenal musim, ke tempat-tempat yang mati. Haruskah aku yang memulai? Aku bergerak mendekat, begitu dekat kita.
“Lena.”
Aku was-was, tubuhku bergetar.
“Bolehkah aku menambahkan nama Maria pada namamu?”
Aku terdiam, hanya itu? Tapi aku mengangguk. Kamu terlalu mencintai ibumu yang bernama Maria itu.
***
Baiklah, barangkali memang belum saatnya. Tapi aku mengenalmu, kegelisahanmu. Kita pernah bicara berdua di taman, di malam, begitu dekat. Aku percaya kepadamu. Kamu begitu baik. Bagiku kamu adalah seorang guru. Aku berharap ini akan berubah. Aku mencintaimu. Kini aku punya kawan dari golongan terpelajar
***
Semakin sering aku mengikutimu, kehidupan pelacuran dan rumah-rumah bordil  mulai tertinggalkan. Sering pula uangku kuberikan kepadamu karena aku percaya kepada hidupmu.  Orang-orang mulai mengenal aku adalah kawan perempuan terdekatmu. Di samping Maria dan Martha? Sebagian lagi ada yang menganggap kita pacaran. Bila itu ditujukan kepadamu, kamu berkata:  “Tak ada kata yang lebih indah selain kawan”. Yakinkah kamu? Bila itu ditujukan kepadaku, aku menjadi gelisah. Aku tak yakin. Aku ingin kawin Kawan ya kawin. Begitulah manusia hidup. Tak inginkah kamu kawin?  Menikah, Sayang?
***
Sudah berapa lama aku bersamamu? Sampai aku sudah lupa pada masa laluku, tapi belum juga keluar dari mulutmu “Lena, aku mencintaimu!”
Masihkah kamu menganggapku kawan seperti kawan-kawanmu yang lain, tak adakah kepedulianmu dalam soal ini kepadaku. Kamu tak mengerti atau pura-pura. Apakah memang begitu terus jalan hidupmu. Apa katamu? kamu datang ke dunia  untuk membawa kabar baik bagi orang-orang miskin, penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, memberitakan pembebasan bagi para tawanan?
***
Tak mengapa, Kamu adalah bagian dari hidupku
***
Pintaku Jangan ada di otakmu aku tidak serius. Aku sudah sangat-sangat serius , berusaha ngerti dan memahami cara berfikir dan hidupmu tapi tak sanggup aku menjalaninya? Atau lupakan semua. Terimakasih atas pertemuan–pertemuan kita. Mungkin kita berbeda, Walau aku tahu banyak kesamaannya. Akan kutunggu berapa lama cintaku kepadamu bertahan, Dan berapa lama kamu menjadi malaikat. Ya! kutunggu kejatuhanmu
***
Lama kita tak bertemu. Atau terasa lama?
***
Sampai suatu saat kudengar kamu ditangkap. Seorang kawanmu mengkhianatimu. kawan-kawanmu yang lain yang kamu banggakan itu  lari pontang-panting meninggalkanmu. Seperti yang dulu pernah kukira mereka adalah anak-anak nelayan sederhana dalam arti lain juga penakut. entah bagaimana caranya  mereka akan menjadi berani aku tidak tahu dan itu suatu kegilaan pasti
***
Setelah penangkapanmu, aku semakin tidak tahu kabar kawan-kawanmu. mereka tak lagi berkumpul, berpencar-pencar dalam persembunyian, menyamar dan pura-pura tidak mengenalmu. aku menangis, takkan kutinggalkan kamu sendiri. kamulah kawanku yang sesungguhnya, lepas dari kelemahan-kelemahanmu. Di saat-saat pengejaran seperti ini aku jadi ingat kata-katamu, “Kamu bekerja di tengah-tengah serigala, kamu harus licik seperti ular dan jinak seperti merpati”
***
Aku datang ke ibumu, menanyakan kabar semuanya adakah kawan-kawan masih ngumpul
***
Pengadilan kepadamu mulai berjalan. Pengadilan agama tidak bisa memutuskan. Herodes tidak mau mengadilimu karena bukan kuasanya. Dilemparkannya kamu kepada Pilatus. Ia juga enggan, memilih cuci tangan. Ia terus didesak, akhirnya kalah karena diancam akan diadukan ke Kaisar Roma. Oh betapa heran: aku jadi tahu jalur-jalur kekuasaan?!
***
Akhirnya ini betul-betul menimpamu. Aku tak percaya Pilatus mengijinkanmu dihukum salib,  diarak keliling kota menuju bukit tengkorak. Aku berdiri di pinggir, di antara orang-orang yang ingin melihatmu dihina. Aku ingin menangis tapi aku telah berjanji kepadamu bahwa aku tak akan menangis di depan orang lain kecuali di depanmu.
***
Vero sungguh berani, Ia maju mengusap lukamu. Mengapa bukan aku? Aku cemburu. Betapa kecil nyaliku
***
Sampai di Bukit Tengkorak aku tetap berdiri di kejauhan, memandang luka-lukamu, mendengar luh penderitaanmu. Sampai menjelang ajal, kamu masih meminta agar orang-orang yang menghinamu menyalibkanmu jangan dijadikan dendam, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
***
Dari ketinggianmu masih keluar dari mulutmu yang bersih, Ibu inilah anakmu dan inilah ibumu. Kamu tidak menyebut namaku. Aku kecewa. Aku sadar, aku bukanlah kawan istimewamu, Yohaneslah yang istimewa.
***
Aku pulang, merasa bersalah, mengapa aku tak datang  ketika kamu berbeban berat.  Terkutuklah hidup dan kelahiranku. Aku menangis sendirian. Tak ada kawan
***
Semenjak kamu tiada kami sering berkumpul bersama , sehidup semati sejiwa. Dibuatlah Credo yang menandakan  kami sekawan dan sejiwa dalam namamu. Setiap waktu kami harus mengatakan entah sembunyi atau terbuka di antaranya kami mengakui bahwa kematianmu karena kekuasaan yang menindas.  Pemerintahan Pilatuslah yang bertanggung jawab.  Kami tidak menuduh pemuka-pemuka agama dan rakyat sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Jadi demikianlah kepercayaan kami kepadamu.  Aku percaya akan Allah Bapa yang maha kuasa pencipta langit dan bumi; Akan Yesus Kristus Putranya yang tunggal Yang hidup sengsara dan wafat di bawah pemerintahan Pontius Pilatus… Apakah kamu sepakat dengan Credo ini?
***
Kawan-kawan mulai menjual harta milik, mengelolanya bersama-sama. Mulailah kini kawan-kawan hidup sesuai dengan kebutuhan
***
Petrus begitu marah ketika tahu Ananias dan isterinya Safira berbohong. Mereka menjual tanah, cuma sebagian yang dilaporkan kepada kawan-kawan.  Hal yang tak kuduga, Petrus menjatuhkan hukuman mati pada sepasang suami-isteri yang berbohong itu. Inilah hukuman mati yang pertama kali dijatuhkan semenjak kami berkumpul sebagai kawan sehidup semati. Kalau kamu masih hidup apakah kamu sepakat? Kupikir tidak. Petrus dan kawan-kawan terlalu emosional. Atau kami takut terhadap segala bentuk pengkhianatan? Terhadap segala bentuk ketidakjujuran? Karena pelajaran dari Yudas Iskariot?
***
Ketika hukuman mati dijalankan, aku pergi meninggalkannya, tak tahan melihat darah mengalir begitu dekat dengan hidupku. Aku sembunyi, menangis, tapi takkan pernah kutinggalkan mereka. Bagaimanapun merekalah yang terbaik:  belajar cinta kasih, cita-cita, bagaimana seharusnya anak-anak manusia ini hidup, makna kekuasaan, hidupku, darimana asalku, penjaraku, pembebasanku. Bersama-sama pemuda-pemuda nelayan, pemuda-pemuda miskin, petani-petani dan para pekerja kebun anggur, orang-orang yang jujur.
***
Aku takkan lagi menangis. Di mana kamu malam ini,  tidur di mana? Bisa kita bertemu di tempat biasa?
***

Akhir Kata
Sepertinya, bagus tidaknya sebuah puisi, sebagaimana karya sastra atau seni lainnya, tidak semata-mata pada indah-tepatnya pilihan kata dan seni menjalinnya. Seperti berita media, puisi mungkin butuh prinsip proximity. Kata-Kata dan tema yang diwakilinya perlu mendekatkan diri dengan lokus, dengan realita di sekitar para penikmat. Semakin lekat sebuah karya dengan kenyataan sosial, semakin mampu ia mewakili kegelisahan dan harapan para penikmat, semakin besar karya itu.
Saya adalah penikmat sastra bergenre realisme sosial. Tentu latar belakang saya yang membentuk kecintaan itu. Bagi saya, sastra memiliki salib sosial  bukan saja sebagai pewarta penderitaan, harapan, dan kegembiraan rakyat banyak; ia harus lebih dari sekedar mampu mengobok-obok emosi pembaca agar simpati dan empati terhadap hal yang diwartakan, tetapi lebih dari itu sanggup mendorong pembaca pada tindakan membuat perubahan. Bagi saya, kata-kata di dalam sebuah karya harusnya lahir dari kenyataan sosial yang diindrai penulisnya, bukan dicomot begitu saja asalkan indah.
Tetapi sebagai penikmat tentulah tak sungguh penting melanjutkan perdebatan klasik seni untuk seni atau seni untuk pembebasan, seni untuk kemanusiaan.
Mungkin lebih berguna menuntut komunitas sastra NTT, jika para sahabat intim Tuhan telah menemukan keterwakilannya pada Mario F. Lawi, tidakkah yang lain tergerak untuk dalam karya mewakili kami yang merindu untaian kata indah tentang harapan Pe’u si kuli bangunan, penderitaan Marta TKW, kemunafikan Yohanis rohaniwan, perselingkuhan Martin si tokoh masyarakat, korupsi Markus si birokrat hebat, atau suka duka rakyat berlawan di Guriola Sabu, Kolhua Kupang, dan Tumbak Manggarai Timur. Kami butuh keterwakilan!
*Disampaikan pada Temu Sastra Komunitas Dusun Flobamora, Peluncuran Antologi Mario F. Lawi, Ekaristi, Kupang, 28/8/2014