Minggu, 30 April 2017

RAMBUT

Rambut di kepala ini masih tampak menghitam
Di usia empat enam
Menutup punggung menjilat pantat
Satu dua..ada yang putih

Kulihat rambut Ibuku tampak memutih
Di usia enam sembilan
Pun menutupi punggung 
Satu dua..ada yang masih hitam

Di bulan Januari tahun ini, aku melihat Ibuku mengumpulkan rambut-rambutnya yang berjatuhan 
Katanya,"Masih bisa diuangkan. Kumpulkan saja rambutmu yang jatuh. Kasihkan Ibumu."

Setiap kali aku memunguti rambut-rambutku yang berjatuhan, aku mengingat wajah Ibu
Menjadi rindu yang bertumpuk-tumpuk
Juga  pada kisahnya yang memilukan  tentang tragedi negeri di tahun enam lima

Kubawa gulungan rambut ini sejauh enam ratus kilometer kepadamu,Ibu.
Kerinduanku tak pernah berakhir
Dan  kisahmu belum juga berakhir


Pedan, 26 April 2017

Sabtu, 29 April 2017

Di Tahun 1965

Untuk …

……………………………………………….
Tanpa permisi
Di sini kecelakaan bisa terjadi
Persis di jalan menikung ke kiri
Dekat kuburan desa
Di sini tiga puisi diseret dan digebuki
Hingga mati
Karena menari
Karena menyanyi



Pedan, 2017

PASKAH

Ini tubuh telanjangku
Masih jelas goresan luka darimu
pun tubuhku masih nyata menggantung di langit-langit hatimu

“Consummatum est!”

Semua sudah selesai tapi kau tak percaya
Masih kau kejar aku di sudut paling sudut
Tak puas goresan yang lalu
Siapa terluka?

Aku akan bangkit
Entah hari ke berapa
Selalu menjadi tanya
Menjadi sebab:
Roma akan jatuh hanya semalam

Kamu pun berjaga sepanjang malam
Kebangkitan hanyalah  dongeng menakuti anak-anak

Tetapi anak-anak bernyanyi riang menyambut fajar merah
Dia sudah bangkit!

Di mana? Di mana?
Roma selalu bertanya di antara nyanyian burung hantu:
Dia sudah bangkit!
Dia sudah bangkit!

Aku pun bangkit
Pada saat itu Roma jatuh hanya semalam
Menjadi kenyataan


 Tangerang, 15 April 2017

Sabtu, 15 April 2017

SAJAK PETANI


Aku mencium bau tembakau
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku meminum air kemasan
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku mencium harum ganja
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku mencium bau semen yang diaduk
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku memasuki hutan lindung dan cagar alam
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku meluncur di jalan bebas hambatan
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku memancing ikan di bendungan
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku menikmati pembangunan
Di sana ada petani yang tersingkir
Aku mendengar doa-doa untuk pembangunan
Di sana petani disingkirkan

Kuta Baru, 11 April 2017

Selasa, 11 April 2017

INDONESIA


Langit biru
Laut biru
Sungai-sungai
Memerah
Setelah melewati pintu gerbang kemerdekaan
Hari ini masih terbayang rumah kebangsaan di atas pasir
Hujan badai datang
Was was menghantui
Di malam yang sunyi bukan kesunyian
Di malam yang tenang bukan ketenangan
Kita tidak pernah tahu
Sampai di manakah kemanusiaan yang adil dan beradab
Yang telah diantarkan para pejuang
Ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Kecuali ketakutan-ketakutan
Karena sebagian dari para pengantar
Sungai-sungai memerah
Langit masih biru
Laut masih biru
Indonesia mengharu biru
Masih



Tangerang, 11 April 2017

Rabu, 05 April 2017

Waktu


Untuk John

Waktu mati di sini
52 tahun menyusuri matahari
Tak beranjak pergi
Ketakutan yang sama
Diciptakan penguasa
Di atas waktu yang terbatas
Buruh-buruh masih menuntut upah
Kaum tani tersingkir dari tanahnya
Pabrik-pabrik berdiri
Pencari kerja antre tergeletak
Di depan gerbang pabrik
Menjaga upah rendah
Atau memilih menjadi manusia gerobak
Menyusuri   waktu  di kota  yang mati
Ada musik, musik yang sama
Ada puisi, puisi yang sama
Ucapan duka cita pada sesama
Atau bahagia ketika tangis baru dilahirkan
Kita bukan manusia
Ketika waktu tak juga beranjak dari hari ke hari
52 tahun menyusuri matahari
Tak ada pagi yang baru
Di antara investasi yang terus diundang
Rakyat mati di meja birokrasi
Sesudah berteriak:
“Jangan menagih lebih  banyak daripada yang telah ditentukan bagimu!”
 “Dan kau, Tentara, jangan merampas dan jangan memeras!
Cukupkanlah dirimu dengan gajimu!”
Kepala tanpa tubuh pun menari-nari di kota yang mati
diarak sebagai hadiah bagi kebaikan investasi
waktu mati di sini
bila tak ada pertobatan!


Jakarta, 6 April 2017

Selasa, 04 April 2017

Pancang: Tonggak Melawan Diskriminasi

AJ Susmana


Kumpulan Sajak Pancang karya Astaman Hasibuan yang dilahirkan di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 17 Maret 1940 ini, dimulai dengan kemarahan dan tuduhan pada jenis manusia yang tak punya "Mata Hati":

Jendral-jendral yang tak punya mata hati
Kemana kau mencari mentari

Mengapa? Astaman menjawabnya dengan hampir seluruh sajak yang terkumpul dalam Pancang ini. Pada Mata Hati sebagai sajak pembuka, Astaman menulis:

Tanyakan pada air sungai
Berapa banyak yang terkubur di dasarnya
Ketika mula kuasa jendral-jendral membunuhi
Putra-putra bangsa ini
Air sungai tak pernah menghitung
Atau memang tak terhitung

Nelayan tak melaut
Perut ikan jadi pusara...
Mayat-mayat hanyut sampai di muara, ...
Mentari bukanlah, mata hati
Tapi mata hati dialah mentari
Apapun alasannya
Apapun yang menjadi dalih
...

Pada sajak Kelokan Parang Bengkok, Astaman menjawab:

Lembah, di bawah jalan raya jadi saksi
Dulu ketika benih kebencian dengan kebohongan ditabur
Di sini dieksekusi, tanpa peradilan
Laki-laki dan perempuan
Yang dituduh melakukan perebutan kekuasaan
Pada pemerintahan yang sah
...

Walau menurut Astaman: 

jenderal-jenderal itu mati dibunuh, ditembaki perajurit-perajuritnya sendiri dan pemerintahan soekarno dirampas jenderal Soeharto...

Lagi, pada sajak Bermain Bola, kita seakan diyakinkan oleh Astaman bahwa manusia yang tak punya Mata Hati itu benar-benar ada:

Cerita itu, tak ada yang percaya, tak mungkin pernah ada
Padahal di sini di asahan yang ramah tamah
Kala Pancasila dijadikan berhala
Kala dosa, diangkat jadi pahala
Kala angkara murka, merampas singgasana
Di penghujung enam lima
Ada yang bermain bola dengan kepala manusia
....

Kita barangkali sering mendengar kekejian yang brutal pada kemanusiaan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pasca G 30 S 1965, tapi di sini, Penyair Astaman menjadi saksi atas kekejian di Asahan.

Untuk semua yang telah berlalu hingga demokrasi yang berjalan ketika para jenderal dituntut diadili pada sajak Demokrasi, Astaman masih bertanya:

Mengapa masih berlaku kemunafikan
Mengapa mesti diskriminasi?
Dibutakankah semua mata hati?
Demokrasi boleh untuk siapapun, tanpa kecuali

Sebab, bagi Astaman,

Jendral-jendral itu mati, bukan ditembaki petani
Jendral-jendral mati di Jakarta
Petani dibunuh di bandar betsi
Jendral-jendral jadi penguasa

Astaman pun sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi bukan untuk orang-orang seperti dirinya:

Layang-layang putus di negeri orang
Dosa mereka, kuasanya jenderal

...
Sang jenderal yang berbintang lima
Tak lagi tinggal di istana
Meski begitu
Masih banyak sandungan
Tunggu, jangan pulang dulu
...
Demokrasi katanya untuk semua
Kecuali untuk kita,
Yang hampir-hampir tak berbangsa..

Astaman terus menorehkan rasa gusar, marah, dan kecaman atas ketidakadilan akibat peristiwa 1965. Kumpulan Sajak Pancang yang terdiri dari 40 puisi ini bagaikan peluru-peluru yang ditembakkan pada kekuasaan yang tak punya Mata Hati; terbit tahun 2002 oleh Pusat Pendidikan Populer, Medan, 4 tahun sesudah Sang Jendral Besar Soeharto dipaksa mundur.

Terbitnya buku ini dan buku-buku sejenis lainnya yang semarak di tahun 2000-an itu nampak menyambut datangnya era demokrasi, era kebebasan: seakan-akan situasi akan dibalikkan menuju Revolusi Demokratik pasca tumbangnya Orde Baru. Roemandung Drastiya Emyert mengantarkan buku ini dengan harapan:

Hanya para penipu berbaju palsu yang tetap bersikap keras kepala membenarkan pembunuhan atas diri anak-anak, perempuan dewasa atau bocah yang sebelumnya diperkosa, dihina, lantas tanpa peradilan dibunuh setelah dicap komunis atau di-PKI-kan. Di awal Orde Baru, banyak membunuh tidak hanya mendapat acungan jempol bahkan mendapat gelar pahlawan penegak Orde Baru, perintis Eksponen '66, sampai sekarang masih ada yang tepuk dada dan berbangga diri karena tegas dan tegar mempertahankan diskriminasi lewat TAP MPRS No 25/ 1966. Sejarah tidak mungkin dihapus oleh para pembohong."

Tapi jelas, harapan Roemandung Drastiya Emyert dan kaumnya itu masih jauh panggang dari api. Setelah Orde Baru jatuh, MPR hasil reformasi masih berketetapan untuk mempertahankan TAP MPRS No 25 tahun 1966. Ketetapan ulang  ini bisa dilihat pada ketetapan MPR RI No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002 Pasal 2 dengan "catatan": kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Tetapi, Astaman Hasibuan sebagai penyair sungguh mempunyai mata hati yang tajam. Untuk itulah ia memberi judul kumpulan sajak ini Pancang. Ia tahu perjuangan menghapus diskriminasi yang berlaku pada golongan komunis di Indonesia masih panjang dan berliku. Ia hanya ingin memberi tanda dan mendirikan monumen Lingga untuk perjalanan yang pernah dilalui dan sebuah ruang dan waktu bisa sedikit berdoa dengan lega sebagaimana motto yang ditorehkan Pramoedya Ananta Toer mengawali epos besarnya tentang kebangkitan kesadaran nasional pada Bumi Manusia:

Han, memang bukan sesuatu yang baru jalan setapak ini

Memang sudah sering ditempuh
Hanya yang sekarang perjalanan pematokan

Pram pun menutup epos kebangkitan kesadaran nasionalnya pada Rumah Kaca dengan harapan sebagaimana Kidung Magnificat ya Kidung Maria:

Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles.(Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina)

...

Pancang memulai kerja
Tak ada pancang mengakhiri
Dialah tonggak
Dialah masa kini dan nanti
Karena dialah zaman baru
Dan pancang itu ada, mustahil tiada


Begitu keyakinan Astaman Hasibuan, sang penyair dari Medan Sumatera Utara.  


http://www.berdikarionline.com/pancang-tonggak-melawan-diskriminasi/

Senin, 03 April 2017

Di Depan Istana Presiden

Untuk mereka yang setia di hari kamis

Engkau masih selalu berharap
Tak peduli usia
Tak peduli sejarah
Yang masih ditulis untuk para pemenang
Kebenaran adalah kebenaran
Kau tuntut sampai ajal
Bila perlu jadi doa
Yang diucapkan sepanjang segala abad

Engkau masih di sini
Tak peduli waktu
Tak peduli hari akan berakhir
Presiden harus tahu
Rakyatnya telah dibunuh dan diculik

Tapi Presiden terus  sibuk mencari investasi
Menteri keuangan mencari pemasukan negeri dari pajak
Kita tidak butuh kejelasan atas masalah yang telah lalu
Kita butuh kejelasan untuk hari ini dan mendatang

Engkau masih menunggu
Di depan istana presiden
Presiden datang ke tendamu
membawa kabar baik:
Anak-anakmu yang hilang sudah ditemukan

Tapi Presiden sungguh sibuk
Menyapapun tidak
Padamu yang menyusuri waktu
Di istana presiden hingga hari ini

Kejelasan seperti  apa di hari mendatang?

Tangerang, 3 April 2017

Sabtu, 01 April 2017