Sabtu, 07 Mei 2016

Puisi Untuk Daan Mogot

Kalau Anda dari Jakarta hendak menuju Tangerang melewati  Grogol,  Anda akan melewati jalan besar Daan Mogot yang membentang sepanjang kurang lebih 28 km  hingga menembus  Kota Tangerang,  yang mengantarkan pada Anda suasana kota lama Tangerang dengan berbagai suguhan kuliner yang merangsang lidah Anda, di tepian Kali Cisadane, yang mata airnya bersumber dari Gunung Pangrango.  
Anda juga bisa singgah di Museum Benteng, Museum warisan budaya peranakan Tionghoa Tangerang yang juga  merupakan museum kebudayaan Peranakan Tionghoa pertama di Indonesia untuk merasakan bagaimana suasana  Kota  ini di masa lalu dan berbagai adat dan kreasi kebudayaan China pada masa Dinasti Manchu. Letak museum di tengah hiruk-pikuk perkampungan, berdekatan dengan Klenteng Boen Tek Bio di Jl Cilame, Pasar Lama.
Perjalanan menyusuri Jalan Daan Mogot dari Grogol menuju Kota Tangerang  dengan kendaraan bermotor  kurang lebih satu jam.  Pada satu abad lebih enam belas tahun yang lalu, H.Kommer melalui Tjerita Njonja Kong Hong Nio, Toean Tanah di Babakan Afdeeling Tangerang, menggambarkan bagaimana  “Jalan Raya Daan Mogot” itu ditempuh dengan kereta kuda:
“…dengan lekas kareta itoe dilariken dari kampoeng Mendjangan.  …koeda iang tarik itoe kreta ada sepasang koeda batak iang amat pesat larinja. Koesirnja ia-itoe satu boedak iang amat pandei bawa karetanja maka tiada heran dalem sedikit tempo sadja kareta itoe soedah liwat Gang Chaulan, liwat Pesing dan Tjengkareng, hingga tiada lama soedah sampei di djalanan Tangerang, dimana ada sedia ampat koeda boeat penggantinja. …Dengen lekas marika itoe liwat djembatan Batoe Tjeper, Tanah Tinggi dan Tanah Babakan”. (Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003; 322-325).
Daan Mogot  yang dijadikan nama jalan raya dari Jakarta, Grogol hingga Tangerang ini adalah seorang perwira Tentara Republik  Indonesia, TRI dan Direktur Akademi Militer Tangerang,  berpangkat Mayor, tetapi hampir kebanyakan penyebutan dirinya tidak pernah menyebutkan pangkat kemiliterannya, cukup Daan Mogot, tidak seperti nama-nama jalan lainnya yang berasal dari militer, hampir selalu disebutkan lengkap dengan jabatan kemiliterannya.  Dengan begitu Daan Mogot menampakkan diri sebagai pemuda rakyat pejuang yang terseret derasnya arus perjuangan revolusi kemerdekaan saat itu.  Terlebih Daan Mogot masih berusia 17 tahun saat menumpahkan darahnya demi Republik dan menjabat sebagai Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang; tentu seorang pemuda yang berani dan cerdas.
Elias Daniel Mogot adalah nama lengkapnya; dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara, di bawah matahari Hinda Belanda,  28 Desember 1928 dan meninggal dalam pelukan Republik Indonesia, 17 tahun kemudian. Daan Mogot sebelumnya adalah mantan anggota dan pelatih PETA di Bali dan Jakarta. Di masa perjuangan kemerdekaan, menjadi komandan Tentara Keamanan Rakyat, TKR di Jakarta dengan pangkat Mayor. Pada bulan November 1945 mendirikan sekaligus menjadi Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang.
Menyusuri Jalan  Daan Mogot dari Jakarta,  sebelum memasuki Kota Tangerang, setelah melewati Tanah Tinggi di sebelah kiri Jalan Daan Mogot  dan Jl TMP Taruna,   Anda bisa singgah sebentar di Taman Makam Pahlawan  Taruna Tangerang, tepat di sebelah barat Lapas Anak Pria, keramaian kota tiba-tiba berganti dengan kesunyian dan ketenangan. Di situlah, Pahlawan kita: Daan Mogot beserta kawan-kawan yang terbunuh dalam peristiwa Lengkong, 25 Januari 1946, dimakamkan.
Sebuah Monumen didirikan untuk menghormati pahlawan-pahlawan kita itu dengan bertorehkan kata-kata dalam huruf besar, yang menunjukkan kerelaan dan keberanian  barisan  pelopor demi  kemerdekaan bangsanya dan demi kebaikan generasi mendatang: 
Kami Bukan Pembangun Candi
Kami Hanya Pengangkut Batu
Kamilah Angkatan Yang Mesti Musnah
Agar Menjelma Angkatan Baru
Di Atas Pusara Kami, Lebih Sempurna
.
kata-kata di bawahnya menerangkan bagaimana kata-kata tersebut diperoleh dan dengan begitu seakan menjelaskan kelayakan kata-kata di atas untuk ditorehkan di tugu kenangan para pahlawan kita itu:
Tulisan ini cermin ketulusan dalam masa perjuangan
Ditemukan di saku salah seorang perwira saat gugur
Bersama adik-adiknya siswa akademi militer tangerang
Dalam tugas misi damai menerima penyerahan senjata dari
Tentara jepang di lengkong di mana tanpa diduga tugas
Damai tersebut berubah menjadi pertempuran yang tidak
Seimbang, sehingga membawa banyak korban
Walau dikesankan anonim, kita tahu kata-kata yang ditorehkan di Tugu Peringatan Daan Mogot dan kawan-kawan itu adalah bait puisi dari penyair perempuan Belanda, Henriette Roland Holst (1869-1952) yang memang karya-karya puisinya telah banyak memberanikan para pejuang kita dalam melawan penjajahan sebagaimana juga dijadikan epitaf di nisan Ali Archam, pejuang komunis yang meninggal dalam pembuangan di Tanah Tinggi, Boven Digul, Papua 2 Juli 1933 dalam umur 32 tahun:
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang neneruskan
Kerja agung jauh hidupmu
Kami tancapkan kata mulia
Hidup penuh harapan
Suluh dinyalakan dalam malammu
Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan
AJ Susmanapegiat Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker)


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/puisi-untuk-daan-mogot/#ixzz481mLOtxd 
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Kamis, 05 Mei 2016

17 TAHUN PRD: SUMBANGSIH PEMIKIRAN UNTUK INDONESIA


Buku "Sumbangsih Pemikiran untuk Indonesia" yang diterbitkan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik - KPP PRD tahun 2013 ini dimaksudkan sebagai sumbangan gagasan jalan keluar bagi Republik Indonesia. Gagasannya merentang dari awal pendirian Partai sampai 17 tahun kemudian; dikumpulkan dari berbagai artikel yang ditulis aktivis PRD dari berbagai media seperti Kompas meliputi isu politik, ekonomi dan sosial budaya. Buku ini bisa dianggap sebagai pergulatan pemikiran PRD untuk Indonesia hingga sekarang ketika PRD mengambil slogan: Pancasila Dasarnya, Trisakti Jalannya, Republik Indonesia keempat: Masyarakat adil dan makmur tujuannya; PRD partainya.

harga: Rp 70.000,
pesan: sms/wa 082124614776



Jumat, 25 Maret 2016

Tugu Kebangkitan

untuk J

Kamu sudah melewati jalan ini
Jika pun tanpa tugu kenangan
Jejakmu selalu ada
Di antara para petani yang kamu lewati
Yang kini masih berjuang untuk tanah!
Kehidupan bukan mati
Bagi sesama

Aku ingat kamu
Bagaimana jalanan mengejek langkahmu
Terseok-seok di antara sesama derita
Menuju tugu yang tak kau kehendaki
Dan perempuan-perempuan yang menangisi nasibmu
Hingga katamu:
"Janganlah kamu menangisi aku 
melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu! 
Sebab lihat, akan tiba masanya orang berkata: 
berbahagialah perempuan mandul 
berbahagialah perempuan yang rahimnya tidak pernah melahirkan, 
dan yang tidak pernah menyusui."

Tetapi tugu yang  kamu bangun di hati para petani
Menjadi  litani tiada henti:

Air mata yang jatuh ini selalu berjanji: 
Berganti kemakmuran


Amin.


Pedan di Minggu Palma, 20 Maret 2016

Minggu, 28 Februari 2016

RIBKA TJIPTANING PROLETARIYATI: Menyusuri Jalan Perubahan, AJ Susmana dan Kelik Ismunanto, penyunting

Ribka Tjiptaning Proletariyati: Menyusuri Jalan Perubahan, penyunting AJ Susmana dan Kelik Ismunanto, 2012, 
Harga Rp 45.000,
pesan sms/wa 081286959527


Buku Tentang Kisah Hidup Dan Perjuangan Ribka Tjiptaning Diluncurkan



Di tengah jaman yang nihil “politisi pejuang”, akhirnya muncul juga sosok Ribka Tjiptaning Proletariyati. Ia dijuluki “Banteng Perempuan” oleh politisi senior PDI Perjuangan, Soetardjo Soerjogoeritno.
Mbak Ning—sapaan akrab Tjiptaning—punya andil besar dalam perjuangan menggulingkan rezim Soeharto. Akibatnya, ia pun berkali-kali menjadi penghuni jeruji rezim orde baru. Satu peristiwa yang tak terlupakan: saat ia ditahan di Mapolda Metro Jaya bersama bayinya yang baru berumur beberapa hari.
Sejarahwan LIPI, Asvi Warman Adam, menyebut kasus itu mirip dengan apa yang dialami oleh tokoh pejuang perempuan terkenal, SK Trimurti. “Ketika ditahan di Polda ia membawa bayinya untuk disusui. Sebelumnya, ia juga pernah ditangkap dalam keadaan hamil,” kata Asvi.
Itulah seuntai kisah perjuangan Mbak Ning yang dirajut menjadi sebuah buku berjudul “Menyusuri Jalan Perubahan”. Buku ini disusun berdasarkan wawancara dua orang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), AJ Susmana dan Kelik Ismunanto, dengan Mbak Ning di sebuah Rumah Makan di Tebet, Jakarta Selatan.
Buku ini pula yang diluncurkan pada Kamis (26/7/2012) sore di bekas kantor DPP PDI Perjuangan, di jalan Diponegoro No 58, Jakarta Pusat. Ratusan orang hadir dalam acara peluncuran dan bedah buku tersebut.
Mbak Ning, yang saat ini menjabat sebagai anggota Komisi IX DPR RI , memberi sambutan mengenai buku baru tentang dirinya ini. Katanya, kisah perjalanan hidupnya jauh lebih berat dari kisah dalam film “Laskar Pelangi”. Untuk diketahui, sebagian kisah hidupnya itu sudah dipahatkan di buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”.
Acara peluncuran buku ini diorganisir oleh aktivis SDI (Srikandi Demokrasi Indonesia). Sejumlah tokoh tampil sebagai pembedah buku ini, yaitu Asvi Warman Adam, Ikrar Nusa Bhakti, Ratna Sarumpaet, dan Zuhairi Misrawi.
Asvi banyak menyoroti soal peristiwa 27 Juli 1996. Maklum, sehari lagi peringatan peristiwa 27 Juli 1996 ke-16. Asvi membeberkan, fakta menunjukkan bahwa aparat keamanan berperan dalam penyerbuan kantor DPP PDI saat itu.
Sedangkan Ikrar Nusa Bhakti, menyoroti soal tidak relevannya tudingan-tudingan PKI sebagai atheis. Sebab, kata dia, tidak sedikit orang PKI yang juga beragama. Ia mencontohkan keberadaan PKI di Sumatera Barat.
Sedangkan Zuhairi Misrawi, yang juga pemikir muda Nahdlatul Ulama, menyebut Tjiptaning sebagai “Islam Kiri”. Pelabelan tersebut, kata Zuhairi, dikarenakan Tjiptaning merupakan seorang muslim yang berpihak pada rakyat.
Zuhairi juga menegaskan arti penting untuk memberi ruang bagi tumbuhnya berbagai ideologi dan aliran politik di Indonesia, termasuk komunisme. Baginya, komunisme juga punya pemikiran yang patut dihargai.
Sementara Ratna Sarumpaet lebih banyak menyoroti suasana Pilkada DKI dan berbagai persoalan bangsa. Ia berbicara tentang pentingnya mendorong agenda perubahan di negeri ini.
Buku “Menyusuri Jalan Perubahan” berisi 293 halaman. Selain merekam jejak hidup dan perjuangan Ribka Tjiptaning, buku ini juga mengulas berbagai persoalan bangsa saat ini. Salah satunya adalah soal praktek neokolonialisme saat ini.
Selain dihadiri oleh anggota PDI Perjuangan dan sahabat-sahabat Tjiptaning, acara peluncuran buku ini juga dihadiri oleh sejumlah warga tuna-rungu yang setia mendukung Jokowi-Ahok dalam pilkada DKI Jakarta.
Ulfa Ilyas
http://www.berdikarionline.com/peluncuran-buku-tjiptaning/




MENGOBARKAN KEMBALI PERANG KEMERDEKAAN, AJ Susmana, kumpulan esai

Mengobarkan Kembali Perang Kemerdekaan, kumpulan esai, 2009, 
harga Rp 30.000
pesan sms/wa 081286959527



Mengobarkan Kembali Semangat Trisakti



OLEH: RETOR AW KALIGIS


Kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan, disebut Soekarno, ha­nya sebuah jembatan emas.

Usa­ha menegakkan kemandirian bangsa jauh lebih sulit ka­rena tidak hanya berhadap­an dengan kekuatan eksternal, ta­pi juga harus menghadapi un­sur dalam negeri sendiri yang potensial melemahkannya.
AJ Susmana mengupas pengaruh dinamika eksternal dan konsolidasi internal bangsa terhadap kemandirian bangsa, mulai dari dominasi modal asing di tengah pembungkaman hak-hak rakyat di era Orde Baru, merajalelanya korupsi sejak Orde Baru hingga ”diaspora”-nya pada era reformasi, politik tanpa karakter di tengah menjamurnya partai-partai politik, tidak dibuatnya strategi membangun industri nasional yang kuat, penjualan aset-aset negara, masalah perlindungan konsumen, hingga pro-kontra ”Goyang Inul” dan UU Pornografi.
Buku ini merupakan kum­pulan tulisannya dari 2004 sampai awal 2009, baik di media cetak seperti harian Kompas maupun media daring.
Sejak dekade terakhir Orde Baru, alumnus S1 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) ini banyak ber­giat di gerakan pro demo­krasi. Sekarang ia menjabat Wakil Sekretaris Jenderal DPP Pa­per­nas (Partai Persatuan Pem­bebasan Nasional), organisasi yang dituding membangkitkan komunisme oleh sebagian pihak.
Tapi buah pemikiran AJ Susmana sesungguhnya lebih mengobarkan semangat Soekarnoisme. Berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya yang dikonseptualisasi Bung Karno sebagai “Trisakti” terasa bergema dalam esai-esainya.

Penutupan Sosial
Persoalan kemandirian bangsa berkaitan erat dengan apa yang disebut Max Weber sebagai fenomena penutupan sosial, yakni proses yang dibentuk kolektivitas sosial untuk memaksimalkan ganjaran melalui pembatasan kesempatan kepada segelintir pihak saja. Pemonopolian kesempatan tertentu dilakukan dengan membatasi jalan untuk memperoleh sumber daya dan kesempatan kepada segelintir orang yang memenuhi syarat.
Di bidang ekonomi, Indonesia memiliki tanah air yang luas dan kaya, tapi lebih dinikmati pihak asing dan segelintir pihak. Negeri ini menjadi ladang eksploitasi sumber daya alam dan banyak memarginalkan masyarakat lokal. Industri yang berkembang lebih mempertimbangkan Indonesia sebagai penyedia tenaga kerja murah sebagai faktor penarik.
Transisi dari rezim otoriter ke demokrasi belum melaku­kan upaya terstruktur dan sistematis untuk memberdayakan rakyat. Bahkan, liberalisasi ekonomi disokong tanpa membangun politik-ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Desentralisasi cenderung memindahkan “pusat-pusat kekuasaan” baru berikut perilaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) ke daerah. Otonomi daerah me­la­hirkan para pemimpin lokal yang memiliki kekuasaan se­perti “raja-raja kecil” di daerah.
Dalam tulisan ”Berpolitik dengan Karakter”, AJ Susma­na menyoroti peran partai politik yang dominan di era reformasi, tapi tidak memberikan kepemimpinan politik yang baik terhadap rakyat. Padahal, bagaimanapun rakyat bisa dewasa dalam berpolitik tentu membutuhkan teladan dan ajaran politik yang ber­ka­rakter dari partai-partai, termasuk para politisinya (hlm 58-61).
Pada masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik. Akibat­nya, tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai. Konflik antarsuku dan agama lalu terjadi di berbagai wilayah Indo­nesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Hubungan antargolongan sering kali tidak berlangsung sinergis.
AJ Susmana menilai perbedaan pendapat, termasuk dalam peristiwa antibudaya seperti kontroversi “Goyang Inul”, pembakaran karya instalasi Perahu Doa Tisna Sanjaya, dan kasus Tempo versus Tommy Winata, seharusnya tak sekadar berhenti pada pela­rangan, tetapi harus diletakkan pada kerangka tegaknya demokrasi sendiri agar demokrasi kian berkualitas dan dewasa. Pelarangan dengan motif korupsi kebenaran tanpa demokrasi seharusnya dihindari manusia yang berbudi dan berakal. Demokrasi mengarahkan ”pelarangan” menjadi kerja keras untuk memperjuangkan kebenaran ontologis, aksiologis, dan epistemologis (hlm 1-5).
Di bawah payung demo­krasi inilah kita bisa menying­kirkan ego golongan demi menuntaskan persoalan-persoalan mendesak rakyat; bersatu, bergandengan tangan mempertegas makna ke­merdekaan kita dan bila perlu mengobarkan kembali perang kemerdekaan. Setidaknya, kita menolak menjadi bangsa kuli sebagaimana mimpi-mimpi pejuang kemerdekaan kita jauh sebelum 1945 (hlm 102).

Penulis adalah Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Indonesia; Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara

07 Nov 2009, Sinar Harapan





Kamis, 25 Februari 2016

LELAKI BERNAMA KARSA, AJ Susmana, kumpulan cerpen

Lelaki Bernama Karsa, kumpulan cerpen, AJ Susmana, 2011
harga Rp 25.000,
pesan sms/wa 081286959527




Minggu, 21 Februari 2016

Kamis, 18 Februari 2016

NEGERIKU, syair-syair perjuangan Agus Jabo


Syairnya datang dari kepedihan, rasa perih dan keprihatinan yang mendalam pada kahanan negeri. Ia tak bermuluk-muluk sebagaimana para penyair yang bertungkus lumus memilih kata. Kejujuran dan kepolosan tampak menjadi apinya. Mengubah keadaan yang menyedihkan menjadi membahagiakan adalah tujuannya. Ia percaya negerinya bisa menjadi surga di bumi. Semangat perjuangan pun seakan menyatu dengan Rukmanda Klara Akustia dalam Rangsang Detik:

"sebutkan segala penjara dan itu adalah aku
sebutkan segala badai kepahitan pembuangan 
kerinduan pada kecapi 
kesunyian malam sepi
kenangan pada Priangan dan kelayuan dari menanti. 
aku yang telah menghitung rangkaian detik berpuluh tahun
aku serahkan segala pada pesta perlawanan 
selama ini jiwa remaja setiap detak nafas nyawaku 
dan kala ini juga diminta 
aku nyanyikan “Bangunlah Kaum Terhina”. 
aku kini tiada lagi bersatu dengan bumi tanah air tercinta 
tapi lagu aku tamatkan bersama bintang seminar kelam 
dengan debar jantung terakhir yang melihat fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku. 
sebutkan segala penjara dan itu adalah aku
tapi sebutkan juga kesetiaan kegairahan dan kepahlawanan itulah aku"

Ia pun bersyair:

"...pergerakan ini telah memberikan aku banyak pelajaran serta kenangan... beban tanggung jawab yang sangat berat selalu aku jalankan tanpa senandung maupun nyanyian demi baktiku buat tanah air serta kemanusiaan" 

Dari lubuk yang dalam, Anda bisa mendengar bagaimana hatinya bernyanyi:

 "Ibu-ibu bercaping bambu 
berbaris melangkah maju
menyusuri jalan-jalan metropolitan .... 
Hati teriris 
Mulut meringis 
Menahan tangis 
Sesak gemuruh ... 
Terpendam di dalam dada

Ibu-ibu melangkah maju 
Layu seperti ilalang Musim kemarau
Dihempas bayu 

Beri kami kepastian hidup 
agar kami tak jadi 
ranting kering di ladang sendiri" 

Cinta dan perjuangan untuk kebaikan Negeri tak hanya mewujud pada aksi dan orasi tapi juga puisi, yang terkumpul dalam Negeriku, syair-syair perjuangan Agus Jabo, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat - JAKER 2009


Negeriku, syair-syair perjuangan Agus Jabo, 2010, 
harga Rp 28.000,
pesan sms/wa 081286959527





Rabu, 17 Februari 2016

SOLITUDE, Putu Oka Sukanta, kumpulan puisi dan cerpen

SOLITUDE, Putu Oka Sukanta, kumpulan puisi dan cerpen, 2015
harga Rp 50.000,
pesan sms/wa 081286959527



KAWAN dan BERLAWAN, Dominggus Oktavianus, kumpulan puisi

Seringkali orang bisa akrab dengan kata-kata karena dipaksa hati yang sedang jatuh cinta. Lalu menuliskan perasaan cinta itu secara puitis. Inilah yang barangkali oleh para filsuf disebut pengalaman estetik: menikmati diserang keindahan.
Tentu saja ini manusiawi. Hanya manusia yang bisa mengalami perasaan estetis dan mengungkapkan dalam berbagai bentuk bahkan bentuk-bentuk puisi. Burung Manyar boleh saja membuat sarang yang indah tapi keindahan bentuk yang tampak statis. Tetapi manusia tidak puas dengan keindahan yang sudah ada. Ia selalu mencari keindahan baru atau menciptakan perspektif yang baru.

Bagi Chernyshevsky, keindahan haruslah berdasar pada kemanusiaan: keindahan adalah kehidupan. Pengalaman atas rasa keindahan itu sebisa mungkin mendorong manusia menjadi lebih manusiawi sehingga mencintai kehidupan. Dalam mencintai kehidupan itulah, muncul keberpihakan terhadap orang-orang tergusur dan tertindas dan menjadikan seni termasuk puisi sebagai bagian dari gerakan pembebasan rakyat menuju kehidupan manusia yang semakin indah.
Membaca puisi-puisi Dominggus Oktavianus, bukan saja kita dibawa pada perasaan estetis tapi juga dorongan kuat untuk membela rakyat tertindas. Kita harus mengubah realitas yang tidak indah: Kelaparan di Yahukimo; busung lapar yang masih banyak dialami anak-anak di negeri yang terkenal indah dan kaya; gempa di Sumatera Barat; suara rakyat miskin yang dijual dalam pemilu; perjuangan rakyat Palestina; ketertindasan buruh pabrik; kesengsaraan petani dusun Suluk Bongkal, Riau..menjadi indah dalam arti sebenarnya yaitu kehidupan.
Membaca puisi Dominggus Oktavianus bagaikan berlitani bersama rahib-rahib yang marah atas ketidakadilan yang berlangsung..
"Salam damai
Bagi yang terbang dari dusun lembah dan rumah rimba
yang terusir dari tanah tempat akarmu tumbuh
sebelum jadi debu
Dengar kabar, di sini akan lahir keadilan
Salam damai
Bagi gubuk-gubuk yang terpanggang dan tergusur
Bagi tangis bayi yang terurai abadi dalam air dan api
Bagi Bunda yang berjuang dan berserah diri
Salam damai
Bagi wajah yang hitam melebam tertinju waktu
Kerut halus yang melukis rasa perih
Bagi mata merana yang ditangguh tatap terus berlawan
Salam damai
Bagi padi yang menguning di ladang terkepung
Mesti terpetik agar hidup bebas berdenting
Salam damai
Sampai bertabur terang dan garam di muka bumi
......
Untuk memperjuangkan keindahan dalam kehidupan itu Dominggus Oktavianus seperti berseru dalam kumpulan puisi Kawan dan Berlawan, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat- JAKER, 2010



Kawan dan Berlawan, kumpulan puisi, Dominggus Oktavianus, 2010, 
Harga Rp 30.000,
pesan sms/wa 082124614776




Minggu, 14 Februari 2016

BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR, Dewi Nova, kumpulan puisi

Ia menentang penindasan segala hal; di setiap penjuru perjalanan yang ditempuh; di setiap kepakan sayapnya sejauh bisa. Ia selalu ingin mencapai lebih; sampai pada batas terakhir. Kata-kata penghabisannya sering begitu sadis:

"Lelaki yang selalu mengenakan jubah ketakutan dan menikmati rantai-rantai yang mengikat kaki ibunya"
atau yang seperti ini:
"Bhineka Tunggal Ika sekarat dipenggal anak kandungnya"
Penindasan di segala hal dan di setiap telah menggerakkan tangannya untuk terus menulis. Kata-kata tak lagi sekedar merayu tetapi juga menggugat:
"Setelah jiwaku pulih, akan kutuntut calo dan majikan!"
Ia tak bisa bersabar pada ketidak-adilan dan tak segan berlawan dengan keras:
"Kau ambil parang kami, kurampas senjata kalian!"
Walau begitu, Ia tak harus selalu berlawan:
"Sarapan pagi ini:
Seiris roti yang tak siap dengan perbedaan
Secangkir kopi pahit kekerasan
Aku mencari teman duduk"
***
Tak sengaja aku bertemu dengannya tahun 2003 ketika sedang bersemangat membangun Partai di Kota Bougenville. Ia berkisah sedikit tentang dirinya yang didewasakan oleh pergerakan di kota pergerakan sejak dahulu: Semarang.
Lalu bersepakat untuk membukukan Kemarahan, kerinduan, dendam, benci, cinta dan asa di setiap perjalanan yang telah ditempuh dalam Burung-Burung Bersayap Air, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat - JAKER, 2010.


Burung-Burung Bersayap Air, kumpulan puisi, Dewi Nova, 2010, 
Harga Rp 30.000
pesan sms/wa 082124614776





Sabtu, 13 Februari 2016

Jumat, 12 Februari 2016

BURUAN, Putu Oka Sukanta, novel

Buruan, novel, Putu Oka Sukanta, terbit 2009, harga Rp 35.000,
pesan sms/wa 081286959527




https://www.goodreads.com/review/show/88156032

Minggu, 07 Februari 2016

ABAD DEMOKRASI TERPIMPIN, Koesalah Soebagyo Toer, kronik

Kronik
ABAD DEMOKRASI TERPIMPIN

penyusun: Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit  : JAKER, 2016

Harga Softcover: Rp 200.000,
Harga Hardcover Rp 250.000,

pesan sms/wa: 081286959527





http://www.berdikarionline.com/buku-kronik-era-demokrasi-terpimpin-sudah-terbit/



MATA GELAP, Mas Marco Kartodikromo, novel

Mata Gelap, sebuah Novel yang terbit pertama tahun 1914, diterbitkan kembali oleh JAKER setelah seabad, disunting oleh Koesalah Soebagyo Toer,

Harga Rp 50.000,

Pemesanan: sms/wa 081286959527




http://www.berdikarionline.com/koesalah-soebagyo-toer-karya-tulis-harus-dianggap-sebagai-prestasi-dan-dihargai/


Senin, 18 Januari 2016

Rumah Tua

Rumah tua di kotaku
yang dahulu kokoh
di masa kanakku
kulihat  semakin renta
terbungkuk karena jaman
tak berdaya menunggu kebangkitan
atau tenggelam dalam sejarah 
yang tak membela

Dikenang dalam cerita
yang tak ingin diceritakan
kecuali karena cinta
di sana aku dilahirkan
dibesarkan hanya untuk pergi
ketika kembali tak berdaya 
bahkan hanya untuk mempercantik pagar 
di tepian jalan

Sementara rumah muda terus mendesak 
dengan gairah warna yang ceria, anggun,
merangsang meminta segala sesuatu datang 
sambil berkata: "Masa depan milikku!"

Rumah tua dari kemakmuran lalu
menunggu hari-hari terakhir

Rumah muda kemakmuran kini
belum tahu kapan sampai akhir!


Pedan, 18 Januari 2016