Minggu, 14 Februari 2016

BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR, Dewi Nova, kumpulan puisi

Ia menentang penindasan segala hal; di setiap penjuru perjalanan yang ditempuh; di setiap kepakan sayapnya sejauh bisa. Ia selalu ingin mencapai lebih; sampai pada batas terakhir. Kata-kata penghabisannya sering begitu sadis:

"Lelaki yang selalu mengenakan jubah ketakutan dan menikmati rantai-rantai yang mengikat kaki ibunya"
atau yang seperti ini:
"Bhineka Tunggal Ika sekarat dipenggal anak kandungnya"
Penindasan di segala hal dan di setiap telah menggerakkan tangannya untuk terus menulis. Kata-kata tak lagi sekedar merayu tetapi juga menggugat:
"Setelah jiwaku pulih, akan kutuntut calo dan majikan!"
Ia tak bisa bersabar pada ketidak-adilan dan tak segan berlawan dengan keras:
"Kau ambil parang kami, kurampas senjata kalian!"
Walau begitu, Ia tak harus selalu berlawan:
"Sarapan pagi ini:
Seiris roti yang tak siap dengan perbedaan
Secangkir kopi pahit kekerasan
Aku mencari teman duduk"
***
Tak sengaja aku bertemu dengannya tahun 2003 ketika sedang bersemangat membangun Partai di Kota Bougenville. Ia berkisah sedikit tentang dirinya yang didewasakan oleh pergerakan di kota pergerakan sejak dahulu: Semarang.
Lalu bersepakat untuk membukukan Kemarahan, kerinduan, dendam, benci, cinta dan asa di setiap perjalanan yang telah ditempuh dalam Burung-Burung Bersayap Air, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat - JAKER, 2010.


Burung-Burung Bersayap Air, kumpulan puisi, Dewi Nova, 2010, 
Harga Rp 30.000
pesan sms/wa 082124614776





Tidak ada komentar: