Sabtu, 20 Juni 2015

Detik adalah Perjuangan



Klara Akustia adalah salah satu nama samaran dari nama yang cukup dikenal dalam deretan sastrawan angkatan 1945, yaitu AS Dharta. Nama AS Dharta sendiri ternyata masih merupakan nama samaran dari Endang Rodji, yang dilahirkan di desa Cikondang, Cianjur pada 7 Maret 1924 dan meninggal pada 7 Februari 2007.

Rangsang Detik, karya Klara Akustia ini, pertama kali diterbitkan 1957 oleh Yayasan Pembaruan, Jakarta. Penerbitan kedua, April 2007 oleh Mata Pusaran, Jakarta. Di dalam buku itu terentang sajak-sajak Klara Akustia dari tahun 1949-1957. Tak cukup banyak puisi dalam buku itu, tapi cukup mewakili rentang perjalanan hidup Klara Akustia sendiri dan pandangan-pandangan mengenai revolusi Indonesia.

Membaca sajak-sajak di dalamnya tanpa referensi yang cukup tentang angkatan 1945 dan revolusi Indonesia tentu akan membuat pembaca tak berhasil memasuki kedalaman estetis Klara Akustia yang heroik, cinta kehidupan dan perjuangan pembebasan ummat tertindas. Orang mungkin akan mencapnya sebagai kumpulan sajak slogan semata, walau memang sajak-sajak Klara Akustia tidak menolak untuk dimasukkan dalam genre sajak-sajak perlawanan yang penuh kata-kata sloganistis.

Kedalaman estetis Klara Akustia dalam memandang kehidupan tampak sejalan dengan pandangan estetika Chernyshevsky (1828-1889), bahwa hakikat keindahan adalah kehidupan. Itu tertuang dalam desertasi Chernyshevsky tentang filsafat keindahan. Disertasi Chernyshevsky ini pun sudah hadir di antara kita sebagai buku berjudul Hubungan Estetik Seni dengan Realitas. Buku ini sebelumnya diterbitkan oleh BP Lekra pada tahun 1960 lalu dicetak ulang Hasta Mitra pada tahun 2002.

Karenanya, tak heran bila dalam sajak-sajak Klara Akustia akan kita jumpai pergulatan dan kehendak berjuang Klara Akustia yang menggebu-gebu dan menggelora. Hampir semua sajak dalam Rangsang Detik adalah pujaan, ajakan dan seruan memberanikan pada kelas pekerja, kaum buruh dan proletariat untuk bersatu berjuang menghapuskan penindasan dan penghisapan, mewujudkan perdamaian dan sosialisme, termasuk resiko penderitaan dan penjara seperti yang ditunjukkan dalam sajak Rukmanda (1954): Sebutkan segala penjara/dan itu adalah aku/ Tapi sebutkan juga kesetiaan/ kegairahan dan kepahlawanan/ itulah aku!

Bagi Klara Akustia, detik sebagai penanda waktu adalah sangat berharga. “Dan kita maju. Berani memilih dari detik ke detik.” Dengan begitu hidup disadari sebagai perjuangan dari detik ke detiknya sebagaimana halnya detik-detik proklamasi yang sekaligus adalah juga penanda detik-detik melaksanakan dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia dimulai. Bahkan ia tak dapat (baca: tak mau) mundur dan lari dari detik-detik perjuangan bersama kelas pekerja ini, walaupun dirinya dipecat dari partai atas tindakannya yang salah yang menurut dirinya sendiri melakukan “kemesuman borjuis”. Sajak Berita dari Partai (1957) menggambarkan ketegaran hati dan kelurusan tekad perjuangannya: berita Partai tegakkan panji/pertempuran terhadap diri sendiri/hadapkan diriku pada pilihan:/kegairahan dari kehidupan/lucuti nafsu perseorangan/atau layu dalam mati sebelum mati...

Hal lain yang masih harus disampaikan atas penerbitan buku ini justru catatan ketidak hati-hatian Eka Budianta yang menulis epilog dari buku ini. Misalnya komentarnya untuk sajak Jalan Terus (1950). Sajak ini sendiri berbentuk pertentangan pandangan antara kaum yang antikomunis dengan orang kecil yang diwakili Amat yang menginginkan “merdeka dari penjajahan sepiring nasi”. Namun oleh Eka Budianta, dengan sajak Jalan Terus justru diartikan Klara Akustia sedang mengecam komunisme. Bagi Eka Budianta, ini merupakan tindakan yang mengejutkan dan menimbulkan tanya: Mungkinkah dalam organisasi lain dimuat kecaman dan penelanjangan diri sendiri seperti ini? Saya tidak dapat membayangkan hal itu dilakukan dalam organisasi mana pun oleh anggotanya sendiri. Dengan kata lain, apa sebenarnya yang terjadi? Padahal kata kecaman dan hujatan terhadap komunisme yang dikutip Eka Budianta dalam sajak Jalan Terus itu diucapkan oleh Suurhoff. Suurhoff adalah salah seorang pemimpin buruh negeri Belanda yang tak suka buruh berpolitik.

Ketidakhati-hatiannya yang lain adalah saat dia mengutip tulisan Ajip Rosidi di harian Pikiran Rakyat, Sabtu 17 Februari 2007. Dalam artikel itu Ajip Rosidi menuliskan ”…dia gunakan juga nama samaran Yogaswara. Seperti diketahui Yogaswara adalah tokoh utama dalam roman R. Memed Satrahadiprawira yang berjudul Mantri Jero.” Sementara itu Eka Budianta menuliskan Kelana Asmara adalah nama tokoh dalam roman berjudul Mantri Jero, karya R. Memed Satrahadiprawira.

Penerbitan buku ini tentu saja memungkinkan kita menambah cakrawala estetik kehidupan berkesenian dan memandang kemanusiaan kita di tengah pandangan-pandangan estetik seni yang terus berkembang pasca Orde Baru tumbang. Karenanya sudah selayaknya kita menyambut kemunculan buku ini yang hampir selama Orde Baru berkuasa hilang dari rak-rak perpustakaan resmi. Terlebih lagi bila kita ingat ucapan Subagio Sastrowardoyo dalam Bakat Alam dan Intelektualisme bahwa “sajak-sajak perlawanan Taufik Ismail dan penyair-penyair segenerasi tidak lebih tinggi nilai sastranya daripada yang dihasilkan oleh Klara Akustia dan kawan-kawan separtainya.” (lihat juga kutipan dalam sampul belakang buku ini yang diambil dari esai Martin Aleida, Prosais, menulis dalam Khazanah, Pikiran Rakyat , 3 Maret 2007).







Tidak ada komentar: