Sabtu, 27 Juni 2015

'Seni menyelamatkan hidup saya...'


Bisnis Indonesia, Jumat, 09-APR-2010

Berkecimpung di dunia kese­nian memang belum mem­buat AJ Susmana bergeli­mang harta. Namun, seni telah membawa anak Klaten ini menyam­bangi negeri tetangga. Seni pula yang menyelamatkan hidupnya dari kejaran aparat negara pascaperistiwa 27 Juli 1996 (Kudeta Dua Tujuh Juli/Kudatuli).

Mono, panggilan akrab AJ Susma­na, pada 1994 bertolak ke Australia mewakili Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) mengikuti Indian Ocean Trade Union Conference Cultural Network di Perth.

Di sela-sela pertemuan itu, laki-laki kelahiran Klaten, 20 November 1971 ini menggelar aksi teatrikal semi monolog. "Meski spontan tanpa latihan, aksi itu mendapat apresiasi ratusan hadirin perwakilan lebih dari 20 negara," katanya.

Cukup sederhana, dia menyusun beberapa buah meja bertingkat-ting­kat di panggung. Masing-masing tingkat ditempeli kertas besar be­r­tuliskan feodalisme, kapitalisme, imperealisme. Lalu, dia memukul-mu­kul piring dengan sendok sambil berteriak hungry!. Irama­nya naik tu­run. Pelan, la­lu lama-lama ken­cang.

Tanpa diperintah, penonton ikut memu­kul benda di sekitarnya sem­bari berteriak hungry. Saat seisi ge­dung bergemuruh, Mono meronta-ronta meruntuhkan meja yang tadi ter­su­sun. Meja itu ambruk dan Mo­no me­ngepalkan tinju. Di badannya ter­gan­tung kertas bertuliskan sosial­is­me.

Tahun itu, Jaker diketuai oleh Wiji Tukul, penyair asal Solo yang hingga kini belum diketahui di mana rimbanya. Mono sendiri menjabat sebagai sekjen. "Itulah pertama kali saya ke luar negeri. Sebenarnya tak habis pikir, anak kampung kok bisa keluar negeri," ujarnya seraya melempar senyum.

Dua tahun berikutnya, begitu peristiwa 27 Juli 1996 meletus, rezim Orde Baru menyatakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organ sekawannya, termasuk Jaker sebagai organisasi terlarang. Para aktivisnya diburu, termasuk Mono.

Saat saya temui beberapa hari lalu di markas Sanggar Satu Bumi yang dikelolanya di bilangan Tebet, Jakar­ta Selatan, pria berambut ikal ini me­ngaku sewaktu menjadi buru­an apa­rat negara pasca-Kudatuli diri­nya ter­tolong oleh ilmu seni yang di­miliki.

"Waktu itu saya kabur ke Bogor, tanpa tahu ke mana dan siapa yang akan dituju. Tapi saya terus berjalan hingga sampailah di kampus Universitas Juanda," paparnya mengenang masa lampau. Kini sorot matanya yang tajam berubah sembab.

Dalam hati dia bergu­mam "Seper­tinya kampus ini cukup aman untuk bersembunyi." Mono pun berkenalan dengan beberapa mahasiswa. Alha­sil, tidak butuh waktu lama baginya sehingga mampu men­dorong maha­siswa mendi­rikan kelompok teater.

Komunitas itu kemudian menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Lentera di Universitas Juanda. Mono orang pertama yang mengajar teater di sana. "Istilahnya sambil me­nyelam minum air. Sambil bersem­bunyi, mengasah ilmu dan bertahan hidup," kenangnya.

Hingga hari ini, teater Lentera te­tap menyala di Bogor. Hingga hari ini pula, tulisan, mantan ketua Fo­rum Seni Budaya Retorika Filsafat Universitas Gadjah Mada ini bertebaran di kolom seni budaya surat kabar lokal maupun nasional.

Sejumlah buku sastra telah lahir dari tangan dinginnya a.l kumpulan puisi Kota Ini Ada Di Tubuhmu (November 2008), kumpulan cerita pendek Perempuan Tangguh (April 2009), esai-esai untuk kemandirian bangsa Mengobarkan Kembali Perang Kemerdekaan (Juni 2009).

Penggubah lagu

Produktivitasnya di dunia seni tak hanya sebatas menulis dan berteater. Mono juga terampil menggubah pui­si menjadi lagu. Lagu gubahan­nya se­ring disenandungkan kalangan ak­ti­vis parlemen jalanan hingga penga­men jalanan.

Puisi fenomenal yang di­gubahnya, seperti Peringatan dan Nya­nyian Akar Rumput karya Wiji Tukul, Benar karya Andi Munajat, Barisan Ibu karya Agus Jabo dalam antologi puisi Negeriku, Tuhan Tu­run­­lah Ke Sini karya Yanti Irawan, dalam antologi puisi Ibu, Maaf Aku Nakal.

Menurut dia, nyanyian adalah bagian tidak terpisahkan dari manu­sia. "Manusia mana yang tidak suka musik? Terlepas dari perbedaan gen­renya, itu soal selera. Puisi yang saya gubah menjadi lagu, hanya puisi yang menurut saya punya ke­kuatan mem­bang­kitkan sema­ngat pem­be­basan kaum tertindas."

Kini, AJ Sus­mana tetap ber­karya da­lam kesederha­na­annya. Bersama kawan-kawan di Sang­gar Satu Bumi, dia bersiap men­dirikan Aka­­demi Kebu­dayaan Wiji Tukul dan sebuah pementasan teater akbar dengan melibatkan sejumlah selebritas. (redak­si­@bis­nis.co.id)

Oleh Wenri Wanhar
Kontributor Bisnis Indonesia

http://www.bisnis.com/servlet/page?_p...

Tidak ada komentar: